“To be politically correct, one must be constantly sensitive to the feelings of others. To be a comedian, one frequently has to ignore them.” – Richard Zoglin (1993)

Puji Koes Plus terhadap kesuburan negeri ini bukan pengandaian belaka. Tidak hanya kesuburan tanahnya secara harfiah, nyatanya kita setiap hari bisa memanen isu dan polemik juga. Belum reda berbagai problematika terkait kebijakan pemerintah di tengah pandemi dan pandemi itu sendiri, kini kita dapat suguhan berupa dipolisikannya Andre Taulany dan Rina Nose.

Kedua komedian itu dilaporkan karena dianggap menghina salah satu marga dari tanah Maluku, Latuconsina. Konteksnya, mereka memelesetkan nama aktris Prilly Latuconsina di sebuah siaran televisi swasta. Namun karena punchline-nya ada di nama bagian terakhirnya, maka marahlah segelintir orang yang kebetulan punya marga yang sama.

Andre dan Rina sudah meminta maaf secara terbuka. Prilly memaafkan dan memahami tidak ada intensi buruk dari candaan tersebut. Tetapi, untuk saat ini, kasus belum dicabut.

Ini bukan kali pertama humor bikin runyam – bahkan antarkelompok masyarakat yang sebenarnya punya kekerabatan tinggi. Tidak hanya Andre yang dipermasalahkan kerabatnya sesama orang Maluku, komika Boris Bokir Manullang beberapa waktu lalu disomasi karena dinilai kelewat batas membercandai stereotipe orang Batak.

Padahal, Boris orang Batak, yang memprotes Boris juga orang Batak. Validitas humor yang lucu adalah humor yang membercandai identitas yang melekat pada diri sendiri pun sedang dalam tanda tanya besar, salah satunya karena political correctness (PC).

Perdebatan tentang PC lagi panas-panasnya karena banyak yang mulai sadar betapa berpengaruhnya aspek berbahasa dan kepekaan politis dalam hidup. Ini istilah impor; kita sendiri pun masih kesulitan mencari padanan katanya atau menerjemahkannya secara mudah. Namun sederhananya, political correctness (PC) bisa dimaknai sebagai upaya politis untuk mengurangi gesekan sosial yang diakibatkan oleh identitas, mulai dari suku, agama, ras, gender, orientasi seksual, karakteristik fisik, dan lain-lain.

Dalam konteks humor, PC berhasil membuat kegamangan yang luar biasa. Praktisi humor terbelah: ada yang masih memproduksi humor yang “salah” secara politis itu, tapi ada juga komedian yang sudah mengampanyekan humor positif seperti humor antiperundungan. Publik pun sama; ada yang makin ekstrem mengonsumsi humor-humor tidak aman, tapi ada pula yang mulai sungkan mentertawakannya, bahkan sampai berani memprotes dan membunuh karena humor – ingat tragedi Charlie Hebdo, kan?

Sifat alamiah humor sebagai pisau bermata dua – yang bisa melukai kaum elit maupun kelas bawah, mengguncang status quo atau menormalisasi keterpurukan, dan paradoks-paradoks lainnya – benar-benar sukses bikin sakit banyak orang sekarang ini.

Daripada Marah-marah

Lewat kolomnya di majalah Time Oktober 1993 silam, Richard Zoglin menyoroti relasi PC dan humor dengan cukup tangkas. PC secara fungsi terpuji karena mengajak kita untuk lebih sensitif terhadap perasaan orang lain. Namun untuk menjadi komedian, seseorang justru harus sering mengacuhkannya.

Mengapa demikian? Saya rasa hal ini tidak bisa dilepaskan dari sifat humor dan medium penyampaian humor itu sendiri yang terbatas. Humor itu alamiahnya harus singkat, padat, dan cepat menuju lucunya.

Siapa yang betah menyimak humor yang disampaikan secara bertele-tele sambil diberi referensi ini itu agar audiens tidak tersinggung? Kalau ada humor macam itu – masih untung kalau hanya tak dihiraukan – seringnya sih kita akan menghardiknya “garing!” atau “mending bikin karya ilmiah saja!”.

Televisi juga pasti enggan menggaet komedian yang butuh waktu lama untuk menghadirkan “gerrr” kepada pemirsa, keburu iklan, itu pun kalau ada yang mau beriklan di acara komedi yang komedinya jarang-jarang. Begitu pun dengan kartunis, penulis, maupun pelaku humor lainnya, harus jago mengkreasikan humor dalam keterbatasan medium.

Makanya, wajar kalau humor suka membesar-besarkan suatu hal yang sederhana atau malah terlalu menyederhanakan hal-hal yang kompleks. Harapannya ya agar dapat lekas dipahami humor ini sedang membicarakan siapa atau kejadian apa. Alhasil, muncullah stereotipe macam orang Jawa itu jongos, orang Italia itu mafia, dan lain-lain. Kita tahu stereotipe ini tidak sepenuhnya mencerminkan realita, tetapi kita bisa saja masih terhibur andai ada humor yang memanfaatkan stereotipe-stereotipe itu.

Kini, PC telah berhasil mendorong orang-orang untuk berani bersuara dengan harapan untuk mengedukasi publik. Dengan makin banyaknya protes di media sosial maupun media arus utama, makin banyak orang yang merasa terpanggil untuk memprotes atau mengambil sikap terhadap hal yang dianggap melanggar PC, termasuk dalam konteks humor.

Kalau kata Seno Gumira Ajidarma, pemikir humor sekaligus salah satu pendiri Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3), jika kita tersinggung karena humor, ya bagusnya dibalas dengan humor pula. Minimal, duduklah bersama untuk berdiskusi, bukannya langsung lapor ke polisi.

Sebab tambahnya, tak hanya pelaku, menjadi penikmat humor juga harus dewasa. Kalau tidak, humor hanya akan jadi alat untuk menyinggung dan tersinggung saja.

Bagi yang tersinggung dengan tebak-tebakan Andre Taulany, mungkin bisa bikin konten protes berupa tebak-tebakan juga. Lagipula kalau merujuk ke salah satu teori humor, yakni benign violation theory (teori pewajaran), permainan kata yang dilakukan Andre dan Rina adalah sebuah teknik permainan kata yang melanggar aturan linguistik belaka, bukan pelanggaran yang lebih serius dari itu.

Ini sama halnya dengan humor-humor tentang nama keluarga di barat, macam “Tahukah Anda keluarga yang paling jorok? Butt (bokong)”. Beberapa nama keluarga imigran juga sering jadi bahan humor ketika diplesetkan dalam bahasa Inggris, sebut saja keluarga imigran “Weiner” dari Jerman yang diplesetkan menjadi “Wiener” atau “Kok” dari Tionghoa yang diplesetkan menjadi “Cock”. Keduanya sama-sama bahasa slang untuk alat kelamin lelaki.

Jadi untuk membalas Andre, bikin saja humor seperti “Artis, artis apa yang bisa meningkatkan kesuburan pria? Andre Tau…” – silakan diisi sendiri titik-titiknya atau sesuaikan dengan kreativitas saudara-saudara.

Alih-alih sekadar mendesak stasiun televisi untuk menendang Andre Taulany, siapa tahu malah teman-teman yang diorbitkan sebagai penggantinya karena telah menunjukkan keahlian dalam mengapresiasi sekaligus memproduksi humor.

Ulwan Fakhripeneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3)

(sumber foto: headtopics.com)

Leave a Reply