Politik Riang Gembira: Gelopolitics versi Indonesia

 

Maria Marselina
Maria Marselina
Undergraduate English Literature Student at Universitas Brawijaya
Saat Pilpres 2024, “Politik Riang Gembira” jadi slogan yang sering digembor-gemborkan. Dari peserta kontestasi politik praktis sampai Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun menggunakan istilah itu untuk merujuk pada pendekatan politik yang mengutamakan kegembiraan, keceriaan, dan humor.
ADVERTISEMENT

Pendekatan tersebut terwujud dalam momen dan gimmick menghibur yang bertujuan untuk menarik perhatian pemilih. Pertama, lewat jingle kampanye. Kalau Partai Amanat Nasional punya “PAN PAN PAN”, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka lekat dengan jargon “Oke Gas”.
Selain jingle-jingle yang meriuhi jagat media sosial selama musim kampanye itu, “Politik Riang Gembira” juga termanifestasi dalam penggunaan maskot untuk membentuk “identitas” tertentu. Lagi-lagi, seperti dicontohkan pasangan Prabowo-Gibran. Lewat maskot artificial intelligence-nya, karakter Prabowo dengan latar belakang militernya bisa menjadi lebih “gemoy”, karena digambarkan lewat badan tambun dan raut wajah ramah.
Media sosial pun diperalat untuk agenda “Politik Riang Gembira” ini. Selain menyampaikan pesan politik, laman Instagram resmi Tim Kampanye Prabowo-Gibran (@prabowo.gibran2) dengan pengikut lebih dari 400 ribu itu ternyata juga mengunggah video-video kucing. Tentu, tidak ada kaitannya kecil sekali, tapi netizen jadi tahu kalau Bobby adalah nama dari kucing peliharaan kesayangan Prabowo tersebut.
ADVERTISEMENT

Pendekatan “Politik Riang Gembira” tersebut ternyata efektif. Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024 berhasil menjaring atensi publik sekaligus mengamankan lebih dari separuh total suara. Terlepas dari berbagai polemiknya, “Politik Riang Gembira” semakin menjanjikan sebagai strategi politis. Kemungkinan besar juga, pendekatan ini tetap akan diadopsi dalam beberapa kontestasi lagi.
Nuansa “Politik Riang Gembira” di Indonesia baru terasa kental pada Pilpres 2024. Namun, konsep ini bukan lahir di Indonesia. Masyarakat Amerika Serikat sudah jauh lebih dulu menyaksikan pendekatan serupa, yang kemudian diulas lebih dalam oleh ilmuwan politik, Patrick Giamario, sebagai sebuah konsep yang disebut gelopolitics.
Dalam bukunya Laughter as Politics (2022), Giamario secara garis besar, menggambarkan gelopolitics sebagai hubungan antara tawa dan politik. Arena politik modern tidak lagi diisi dengan forum resmi dan diskusi program, tetapi lewat praktik-praktik yang menghibur. Di sinilah, tawa menjadi ruang politik tersendiri bagi politikus maupun masyarakat.
ADVERTISEMENT

Dengan kata lain, tawa aktif menjadi alat politis untuk memperkuat kekuasaan – dengan membangun citra positif – atau sebaliknya, menentang kekuasaan melalui kritik yang dibalut dengan humor.
Menurut Giamario, tawa dalam gelopolitics berperan dalam lima kategori: learning, violence, rupture, escape, dan affect.
Dalam “Politik Riang Gembira”, tawa salah satunya dihadirkan dalam penyebutan istilah pembelajaran politik yang terdengar usang (laughter as learning). Kontestan Pilpres 2024 menyebut aktivitas dengar pendapat atau diskusi dengan konstituennya secara unik, seperti program “Desak Anies” oleh Anies Baswedan, “Slepet Imin” oleh Muhaimin Iskandar, “Tabrak Prof” oleh Mahfud MD, dan “Gelar Tikar” oleh Ganjar Pranowo. Cara penamaan demikian, selain lebih menarik, juga mengurangi ketegangan bagi peserta yang menghadiri acara tersebut.
ADVERTISEMENT

Kemudian, tawa juga menciptakan afeksi (laughter as affect) ketika penggunaannya dapat membangun ikatan emosional antara elite politik dengan masyarakat. Jingle “Oke Gas” milik Prabowo-Gibran sebenarnya terasa mengandung dorongan agar publik tidak ragu untuk memilih pasangan tersebut. Sebab istilah “Oke Gas” sendiri merujuk pada bahasa sehari-hari tentang ajakan dan persetujuan. Namun, karena pesan tersebut dibawa dengan medium jingle yang populer, maka suasana keakraban terbangun dan dorongan untuk memilih pasangan tersebut terasa lebih menggugah.
Namun di sisi lain, geopolitics juga berpotensi untuk dijadikan pengalihan yang mengaburkan isu-isu serius yang seharusnya dihadapi dengan lebih substansial.
Misalnya, momen ketika Gibran Rakabuming Raka mengenakan jaket beremblem klan Uzumaki (simbol oranye bulat) dari anime Naruto saat debat cawapres keempat. Gimmick tersebut berawal dari unggahan warganet yang membandingkan para Presiden RI dengan hokage alias pemimpin Desa Konoha di dunia Naruto. Presiden Jokowi sendiri dikaitkan dengan Naruto, yang kebetulan juga menjabat sebagai pemimpin ketujuh.
Sumber: Iqbal Firdaus/Kumparan

zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Iqbal Firdaus/Kumparan
Dalam cerita, Naruto memiliki putra bernama Boruto. Sosok tersebut lantas dikaitkan dengan Gibran, karena keduanya kelimpahan nama besar ayahnya. Namun, bukannya malu atau mengelak disamakan dengan Boruto, Gibran justru tampil percaya diri dengan gimmick jaket Naruto-nya.
ADVERTISEMENT

Tiga kategori lain dari gelopolitics tergambar dari isu ini. Pertama, laughter as rupture tergambar dari fungsi tawa yang sebagian masyarakat tawarkan untuk menunjuk kentalnya nepotisme dari Gibran. Pada diskursus “Politik Riang Gembira” selama Pilpres 2024, publik telah mencontohkan bagaimana tawa bisa menjadi pemecah hubungan antara Gibran dengan para pendukungnya, yakni melalui analogi Boruto dan nepotisme yang dinikmatinya.
Namun demikian, Gibran justru memanfaatkan peran tawa sebagai pelarian (laughter as escape). Ia malah sengaja memakai jaket dari anime Naruto untuk merespons kritik tersebut. Dengan tampak santai disamakan dengan Boruto, ia menciptakan realitas politik alternatif yang berbeda dengan persepsi pengkritiknya, tanpa menyelesaikan permasalahan intinya. Bahkan, ia memanfaatkan momentum tersebut untuk menarik lebih banyak dukungan.
ADVERTISEMENT

Pengabaian itu sebenarnya juga termasuk fungsi laughter as violence. Pasalnya, Gibran tidak hanya menghindari tanggung jawab untuk menanggapi kritik secara langsung, tetapi juga menggunakan humor sebagai alat untuk mengalihkan perhatian publik dari isu penting yang seharusnya dibahas secara substantif. Dengan kata lain, ia mengesampingkan nilai-nilai etika dalam politik untuk memuluskan langkahnya meraih kemenangan.
Pemaparan Giamario tentang peran-peran tawa dalam gelopolitics ini membuka wawasan bahwa ternyata tawa, dalam segala bentuknya, punya manfaat politis. “Politik Riang Gembira” telah membuktikan bagaimana politikus peserta Pilpres 2024 mampu menciptakan citra yang menyenangkan hingga mengalihkan perhatian publik dari isu-isu serius.
Jingle, maskot, dan konten-konten lucu yang digunakan dalam kampanye politik sering kali menghadirkan tawa yang tampak tidak berbahaya. Namun, hal-hal tersebut bisa jadi hanyalah penyamaran motivasi berkuasa dan trik dari penguasa yang tidak selalu terlihat di permukaan.
ADVERTISEMENT

Ketika elite menggunakan tawa untuk menciptakan kedekatan dan keakraban, publik perlu mewaspadai agenda di baliknya. Sebab, selalu ada kemungkinan tawa hanya berfungsi untuk mengaburkan hal-hal yang lebih genting.
*Maria Marselina. Tulisan ini dibuat bersama peneliti humor IHIK3, Ulwan Fakhri, dalam program “Intern Science Communicator” dari Program Studi Sastra Inggris, Universitas Brawijaya-IHIK3

Copyrights 2019 | IHIK