Di luar negeri, jawaban umum dari tebak-tebakan klasik di atas adalah “umur”. Namun kalau di Indonesia, responsnya bisa sangat beragam, dari umur, harga kebutuhan pokok, hingga masa jabatan pejabat negara.
Tahun ini, pejabat negara kita sedang berbondong-bondong menunjukkan “kecintaannya pada negara” dan keinginannya “mengabdi pada masyarakat” dengan memperpanjang durasi kerjanya.
Terbaru, Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) resmi mengusulkan agar usia pensiun Aparatur Sipil Negara (ASN) diperpanjang (15/5/25).
Dalam surat bernomor B-122/KU/V/2025 itu, ASN Pejabat Pimpinan Tinggi (JPT) Utama bakal didorong untuk terus menjabat hingga usia 65 tahun—saat ini masih sampai 60 tahun.
Korpri seperti tak mau kalah dengan TNI, yang pada Maret 2025 lalu mendapat lampu hijau perpanjangan masa dinas dari DPR RI.
Menurut Pasal 53 Undang-Undang TNI terbaru, para perwira tinggi (peti) TNI kini bisa bekerja hingga usia 63 tahun—sebelumnya 58 tahun. Presiden bahkan berpeluang menunda pensiun Pati bintang 4 hingga 65 tahun.
Dan kita seperti tinggal menunggu waktu saja sampai revisi UU Polri disahkan. Dalam draf RUU tersebut, presiden bisa memaksimalkan usia jenderal polisi alias Kapolri jika mendapat rekomendasi dari DPR. Bahkan, belum tercantum berapa lama batas perpanjangannya.
Itu pun baru di atas kertasnya. Praktiknya, banyak pejabat negeri ini yang tidak pernah benar-benar purnatugas.
Pensiunan pejabat TNI-Polri biasanya masih aktif di jabatan-jabatan sipil strategis. Contohnya komisaris—pola yang menarik dari korsa yang acap menuntut peremajaan sistem persenjataan dan keamanan, alias antidengan yang tua-tua, bukan?
Ada juga beberapa pejabat tinggi yang kelar bekerja untuk direktorat atau kementeriannya masih diangkat sebagai anggota dewan pertimbangan, penasihat, pengarah, atau pengawas sejumlah lembaga yang batas usia maksimumnya tidak jelas.
Fenomena yang sama pun ada di beragam komite, tim, dan badan negara yang baru diresmikan.
Biasa juga kita melihat pejabat yang rutin “ganti baju”: sekarang anggota DPR, besok kepala daerah, lusa menteri.
Bahkan, ada pejabat-pejabat populer yang tidak kunjung di-rolling; berperiode-periode ia terus menduduki jabatan yang sama. Minimnya rotasi ini jelas mengabaikan prinsip akuntabilitas dan kontrol dalam pemerintahan.
Publik pun lazim jika kepikiran pertanyaan macam: ini termasuk cara pejabat “mengabdikan diri” atau “mengabadikan diri”?
Padahal, jika memang niatnya tulus berkontribusi buat negara—istilah Presiden Prabowo Subianto: menjadi patriot—petinggi-petinggi ASN, TNI, dan Polri itu tidak selalu harus terus menonjolkan diri. Satu yang bisa dilakukan misalnya menggeser peran sedikit dari leader ke pengader.
Di sisi lain, niatan pejabat untuk memundurkan waktu pensiun juga mengurangi peluang kerja bagi generasi muda. Para milenial dan zilenial harus semakin ikhlas untuk mengalah, menunda kesempatan bekerja dan berkarir demi menjadi “cheerleader” seniornya.
Sekadar pengingat saja bagi kita semua, tubuh ini ada “batas pemakaiannya”. Berkaca dari data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), usia harapan hidup rata-rata penduduk Indonesia cuma 72 tahun.
Dari data tersebut, pejabat-pejabat yang baru pensiun di usia 65 praktis cuma punya sekitar tujuh tahunan saja untuk menikmati “masa istirahatnya”—itu juga kalau sempat dan sampai.
Angka harapan hidup ini kebetulan juga dijadikan salah satu basis Kepala Badan Kepegawaian Negara, Zudan Arif Fakhrullah, untuk meninggikan batas usia pensiun ASN.
Di atas kertas, itu memang betul. Menurut BPS, rata-rata usia harapan hidup tahun 2024 sudah melebihi 2023, yakni 72 tahun 4 bulan berbanding 72 tahun 1 bulan.
Yang sedikit menimbulkan gelak, selisih kesempatan hidup yang cuma empat bulan itu ternyata kalau dikonversi ke durasi kerja jadi setara hingga lima tahun.
Ketidaksinkronan antara raga yang terbatas dan fungsi yang terus diperas ini jadi absurd sekaligus humoristis.
Kalau dari kacamata Mikhail Bakhtin (1895–1975), bisa masuk ke konsep grotesque body. Dalam bukunya Rabelais and His World (1965), Bakhtin menjelaskan bahwa grotesque body adalah tubuh yang selalu tumbuh, membengkak, dan tak pernah tuntas.
Demikian halnya tergambar di “tubuh” pejabat kita. Pensiun hanyalah bentuk lain dari reinkarnasi jabatan. Mereka tak benar-benar tamat, cuma pindah dari satu peran ke peran lain.
Mereka inilah parodi atas sistem yang menolak berhenti.
Tulisan ini telah dipublikasikan di Kompa