Catatan pelaksanaan acara bedah buku: Metafora Visual: Kartun Editorial pada Surat Kabar Jakarta 1950-1957
Karya Priyanto Sunarto, 26 April 2019 di STIKOM LSPR Jakarta.
IHIK3, Jakarta—Bedah buku terbitan Ihik3 dan IKJ Press kali ini bekerja sama dengan Research Centre STIKOM LSPR, lembaga pendidikan komunikasi terkemuka di Jakarta yang juga rutin mengadakan acara diskusi buku tiap sebulan sekali. Buku yang dibedah pada tgl 26 April 2019 berjudul “Metafora Visual: Kartun Editorial pada Surat Kabar Jakarta 1950-1957”, yang merupakan tulisan disertasi dari Priyanto Sunarto (alm). Beliau sendiri selain pengajar dan peneliti, juga adalah seorang kartunis yang karyanya sering dimuat di majalah Tempo dan juga penulis berbagai judul buku. Oleh karena penulis buku sudah meninggal dunia, maka yang menjadi pembicara pada acara yang bertempat di Rafael Jolongbayan Room, Kampus B STIKOM LSPR Jakarta adalah Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum., selaku penyelia buku ini juga merupakan founder dari Ihik3 dan Rektor IKJ (periode 2016-2020), dipandu oleh moderator Dr. Joe Harrianto Setiawan, M.Si., yang merupakan dosen di STIKOM LSPR.
Acara diawali dengan pemaparan kartun karya-karya Priyanto Sunarto oleh Seno Gumira yang menurutnya tampak seperti orang tidak bisa menggambar. Hal ini bukan karena beliau benar-benar tidak bisa menggambar, namun agar membuat gambar yang beliau buat dekat dengan masyarakat. Goresan yang dibuat nampak seperti asal saja, namun sesungguhnya penuh dengan perhitungan dan pertimbangan. Karena pada masa beliau berkarya, adalah masa Orde Baru yang penuh pembungkaman, sehingga salah tafsiran sedikit saja, maka akan fatal akibatnya. Pada masa itu, ditambahkan oleh Seno, kritik itu harus merdu! “Lah yang merdu itu yang gimana?”
Pri, panggilan akrab dari Priyanto, mencoba mengritik pemerintah dengan memetaforakan situasi sosial-politik pada masa itu lewat kartun yang menggelitik. Melalui kartun, kritik yang biasanya keras dan membuat pihak tertentu tersinggung, menjadi lebih halus dan akhirnya tidak ada yang marah. Rakyat yang membacanya dapat lebih terwakili suaranya lewat kartun yang membebaskan.
Setelah itu, masuklah ke dalam pembahasan mengenai kartun yang dianalisis oleh Pri dalam disertasinya yang sangat detail dan analitis sekali. Saking deskriptifnya, menurut Seno, ia sebagai penyelia buku ini tidak mau membuang lampiran-lampiran yang banyak sekali isinya. Karena menurutnya, justru lampiran itulah inti dari penelitian ini. Kalau biasanya hasil penelitian, tesis atau disertasi yang akan dibuat menjadi buku akan ditulis ulang untuk menjadi lebih pop, maka disertasi Pri ini ya dimasukkan seluruhnya, tanpa ada yang dikurangi, karena ia tau menulis dan melakukan penelitian itu tidak mudah, masa’ iya mau dipotong?
Seno juga mengungkap, alasan Pri meneliti kartun pada masa demokrasi parlementer adalah karena beliau penasaran seperti apa bentuk dan isi kartun editorial pada saat pers belum dibelenggu. Selama ini ia membuat kartun di mana suara dibatasi dalam bentuk apa pun. Namun pada masa demokrasi parlementer, Indonesia baru merdeka, usianya bisa disamakan dengan usia anak-anak sekolah. Pers pada saat itu masih tumbuh, seiring pula dengan tumbuhnya kartun editorial. Kartunis seperti Sibarani, S. Soeharto (Indonesia Raya), Ramelan (Surat Kabar Merdeka) dan kartun-kartun tanpa nama dari Harian Rakjat, Surat Kabar Abadi, Surat Kabar Pedoman dan lain-lain, menggambarkan metafora dari situasi sosial dan politik pada saat itu yang dapat membuat pembacanya tersenyum (paling tidak dalam hati), karena apa yang digambarkan sangat sesuai dengan konteks situasinya. Bahkan Bung Hatta yang dikenal sangat pintar, terutama dalam bidang ekonomi juga menjadi obyek kartun karena sifatnya yang irit bicara, sehingga rakyat menginginkan adanya komunikasi dari pemimpinnya mengenai kebijakan ekonomi yang diambil beliau.
Acara yang dihadiri oleh dosen dan mahasiswa LSPR, juga dari akademisi eksternal seperti UI dan IKJ, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Penanya terbaik datang dari Tasya, mahasiswi LSPR, bertanya apakah benar apabila kita ingin melakukan kritik, maka kita harus memiliki karya terlebih dahulu?. Pertanyaan lain datang dari dosen LSPR, J Don Bosco yang bertanya apakah kajian kartun dapat dilakukan melalui kajian hermeneutika?. Keduanya dapat dijawab oleh Seno, dan mendapat hadiah jurnal Prisma dari Ihik3 sebagai penanya terbaik.
Acara dilanjutkan dengan kesimpulan dari moderator, penyerahan plakat dari LSPR kepada Seno Gumira Ajidarma sebagai pembicara diskusi buku, dan ditutup dengan foto bersama, dan diskusi personal dengan pembicara, moderator dan perwakilan dari Ihik3. Dan akhirnya Institut Humor Indonesia Kini (Ihik3) mengucapkan terima kasih kepada Research Centre STIKOM LSPR untuk kerjasama yang telah terjalin atas terselenggaranya bedah buku ini. Besar harapan kami agar akademisi, baik pengajar maupun mahasiswa, dapat melakukan penelitian yang berkaitan dengan humor, menulis buku kajian humor ataupun humor itu sendiri sehingga dunia humor Indonesia lebih kaya dan terang benderang. Salam ihik ihik ihik… (NoW, 06.05.2019)