Humor dan Bekerja
Yasser Fikry & Novrita Widiyastuti
Penggunaan humor secara tidak langsung selain akan mempererat hubungan antar anggota tim sehingga tercipta solidaritas yang kuat, juga akan membangun komunikasi yang lebih lentur antara pimpinan dan staf karena sudah menjadi rahasia umum bahwa pimpinan yang humoris lebih dicintai dibanding yang kaku dan tak berperi-kehumoran.
Salam ihik ihik ihik…
Pencapaian target dalam kegiatan bisnis adalah ‘titah dewa’ yang tak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Penetapan target secara tidak langsung juga akan berpengaruh terhadap perilaku pimpinan dalam pengambilan keputusan, tentunya dengan dukungan kerja tim yang hebat dari para staff. Hal ini menjadikan ruang kantor sebagai pusat kegiatan bisnis menjadi tempat sakral yang harus dijaga keseriusannya. Bahkan, ukuran profesionalitas seringkali dilihat dari seberapa serius dia melakukan pekerjaannya. Akan tetapi, apakah keseriusan menjadi satu-satunya cara untuk mencapai target dalam kegiatan bisnis?
Keseriusan dalam bekerja memang penting, akan tetapi bukan harga mati yang tak dapat ditawar lagi. Sekadar bercengkerama ringan dan berbagi tawa dengan rekan kerja juga tidak akan membuat perusahaan jadi bermasalah bukan? Chris Robert, seorang asisten Profesor di Universitas Missouri-Columbia’s menemukan bahwa bersenda gurau ketika bekerja justru meningkatkan produktivitas dan kesetiaan karyawan (jobsdb.com). Selama ini, humor selalu identik dengan ketidakseriusan, sehingga banyak bos atau manajemen perusahaan yang melarang karyawannya bercanda selama bekerja; padahal humor ini termasuk ke dalam emosi positif yang dapat menstimulasi semangat karyawan sehingga meningkatkan performa kerjanya.
Adrian Gostick dan Scott Christopher dalam The Levity Effect memberikan contoh terkait keseriusan dalam bekerja, Art Hargate, CEO Ross Environment Services, suatu perusahaan keselamatan lingkungan yang dalam melakukan kegiatan bisnisnya diatur oleh aturan-aturan yang sangat ketat mengatakan bahwa perusahaannya telah mempunyai tradisi sejak dahulu untuk selalu serius. “Kami ada di bisnis yang sangat serius, dan tidak ada toleransi tingkat kesalahan dalam melakukan pekerjaan. ”Aturan di bidang keselamatan lingkungan sangat ketat dan melibatkan sanksi denda yang sangat besar…pelanggan kami sangat berharap agar kami serius dalam menangani mereka. Lingkungan kerja kami sangat serius dan berlangsung secara terus-menerus. Jadi kami tidak mempunyai waktu untuk rileks meskipun hanya untuk sejenak. Setelah bertahun-tahun, saya selalu berpikir, busyet deh, tekanan yang berlangsung secara terus-menerus, mungkin tidak baik untuk kami semua.Kita harus berusaha untuk lebih rileks.” Setelah mereka bekerja lebih rileks, perusahaan telah mencatat pertumbuhan setiap tahun. Apakah ini suatu kebetulan? Hargate berkata, bahwa dia mempunyai keyakinan bahwa dengan sedikit rileks telah meningkatkan produktivitas dan mempermudah kami untuk bertumbuh. Hal ini sebenarnya meningkatkan fokus dan kualitas atas jasa yang diberikan.”
Sebuah survei yang dilakukan oleh Richard JCronin kepada para Bisnis Eksekutif dan Dekan sekolah bisnis untuk perusahaan pencarian eksekutifnya di Rosemary Illiois menunjukkan bahwa 62% dari mereka percaya ada kaitan antara humor dan kesuksesan. Ini adalah hasil survey yang secara langsung membantah tuduhan bahwa humor akan mengganggu kinerja karyawan dalam sebuah perusahaan (Bluemenfeld & Alpern, 1994). Tuduhan tersebut mungkin ada benarnya jika kita salah mengartikan penggunaan humor di dalam dunia kerja sehingga output yang dihasilkan tidak seperti yang diharapkan.
Manfaat lain dari humor di dalam pekerjaan yaitu antara lain: dapat mengurangi tekanan dan stres, meningkatkan kualitas kepemimpinan, meningkatkan kekuatan tim, memperbaiki komunikasi, memancing kreativitas, membangun budaya perusahaan dan memperbesar rasa kepemilikan karyawan terhadap perusahaan (Sampietro, 2017) (Scheel & Gockel, 2017). Bahkan seringkali berada di perusahaan yang penuh dengan humor dan gelak tawa dapat membuat karyawan tidak merasa seperti sedang bekerja (yang biasanya tegang dan melelahkan) sehingga membuat mereka semangat datang ke kantor dan merasa rugi bila tidak masuk kantor.
Namun, adapula dampak negatif dari humor bila diterapkan secara salah saat bekerja, seperti: ada karyawan yang tersinggung dengan humor dari karyawan lain atau bahkan pimpinannya, dapat mengikis kewibawaan pemimpin apabila ‘keblabasan’, sehingga tercipta konflik, yang pada akhirnya dapat mengganggu pekerjaan dan dapat dianggap tidak bekerja dengan serius apabila terlalu banyak bercanda (Sampietro, 2017) (Scheel & Gockel, 2017). Humor seperti layaknya obat memang harus memperhatikan dosis, aturan pakai, jika salah penggunaan, alih-alih menyembuhkan malah bisa menjadi racun yang mematikan. Jadi sebenarnya humor bukanlah hal yang mustahil akan tetapi suatu keharusan jika tepat penggunaannya. Untuk itulah, diperlukan formula dan metodologi yang tepat dalam menerapkan humor di dalam pekerjaan.
Penggunaan humor dalam kegiatan bisnis tentu saja bukan seperti yang sering kita lihat dalam program-program komedi di televisi. Kita tidak akan melihat kejadian mirip adegan di Opera Van Java atau kuis Waktu Indonesia Bercanda apalagi film Warkop DKI yang penuh adegan canda. Penggunaan humor dalam dunia kerja tentunya bukan mengubah kantor menjadi panggung komedi atau membuat pekerjaan menjadi bahan olok-olokan, apalagi mengejek pimpinan atau staff demi menciptakan tawa, karena itu bukan tujuan utamanya. Humor dalam dunia kerja lebih menekankan pada penciptaan lingkungan yang menyenangkan untuk bekerja.
Humor dalam pekerjaan dapat diterapkan ke banyak hal dan situasi, seperti (Scheel & Gockel, 2017):
- Saat memimpin, saat pemimpin sedang memberikan intruksi kepada bawahannya tanpa membuat bawahannya merasa terpaksa atau bahkan merasa sedang diperintah.
- Saat rapat, sehingga peserta rapat tidak bosan bahkan tertidur pada saat membicarakan isu-isu ataupun evaluasi rutin.
- Saat bernegosiasi dengan pihak luar sehingga tercapai win-win solution bagi kedua belah pihak.
- Saat bekerja dalam tim, sehingga mempercepat pemecahan masalah dan mengurangi konflik yang mungkin terjadi.
- Saat presentasi, membuat peserta presentasi tertarik untuk mendengarkan sampai akhir.
Bagaimana memulainya?
Mulailah dengan menggunakan humor perspective, yaitu melihat segala sesuatu dari sisi yang lucu, bukan dari sisi negatifnya (Meggert, 2009). Misalnya, ketika Anda sedang menghitung neraca keuangan, namun ternyata terjadi selisih yang besar antara pemasukan dan pengeluaran. Hal yang biasanya terjadi adalah Anda akan stres kenapa ini bisa terjadi? Atau Anda bisa mengambil sisi lucunya karena ternyata jari Anda terlalu besar sehingga saat menekan keyboard komputer ataupun kalkulator tidak sengaja tertekan dua angka sekaligus (misalnya: angka 8 dan 9), sehingga tak heran selisihnya menjadi besar sekali J. Dalam situasi ini, apakah Anda lebih memilih stres atau melihat sisi lucunya? Apabila memilih yang kedua, maka hal inilah yang disebut humor perspective. Latihlah terus sisi humor Anda!
Lalu, perlu diketahui pula bahwa humor ada 4 gaya utama (Martin, 2007)(Robert, 2017):
- Affiliative Humor, yaitu menceritakan hal yang lucu, lelucon ataupun olok-olok namun cerdas, dengan harapan bisa menghibur orang lain, tertawa bersama-sama dan memperkuat hubungan satu sama lain.
- Self-enhancing, yaitu berusaha menghibur diri sendiri dengan hal-hal yang lucu dan jenaka, biasanya digunakan untuk mengurangi stres ataupun mekanisme mengatasi masalah dan tetap berpandangan positif dalam menghadapinya.
- Aggressive humor, yaitu menggunakan humor untuk mengkritisi seseorang dengan cara sarkasme, mengejek, menyerang, menghina, merendahkan bahkan mempermalukan orang lain. Humor ini biasanya digunakan oleh atasan atau orang yang merasa lebih superior untuk menegaskan posisi dan status mereka kepada bawahannya.
- Self-defeating humor, yaitu menggunakan humor dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai korban dalam lelucon yang mereka buat. Mereka rela mengolok-olok diri sendiri atau bisa juga menceritakan hal-hal lucu tentang dirinya untuk membuat orang lain tertawa dan dirinya lebih diterima oleh orang lain. Humor ini dapat membuat pemimpin menjadi lebih dekat dengan karyawan yang levelnya lebih rendah.
Untuk di dunia pekerjaan, gaya pertama, yaitu Affiliative Humor adalah gaya yang paling ideal digunakan, terutama apabila sedang bekerja di dalam tim (Sampietro, 2017). Namun, tidak semua orang mampu menciptakan humor dengan gaya ini karena sudah terbiasa dengan gaya yang lain. Contoh dari affiliative humor adalah: “Definisi GAJI: bentuk ketidaksopanan, karena baru datang, pergi lagi tanpa permisi”. Sedangkan gaya yang sebaiknya paling dihindari yaitu yang ke-3 yaitu Aggressive Humor, karena tingkat kemungkinan orang lain tersinggung dan terjadinya konflik akan besar (Sampietro, 2017). Contoh aggressive humor: “Memangnya kamu sanggup mengerjakan ini? Kamu kan hanya sanggup membuat kesalahan saja?”. Apakah humor yang sering Anda lontarkan termasuk ke dalam gaya affiliative atau malah aggressive? Silakan tanyakan kepada diri Anda sendiri.
“Bagaimana jika kita sudah berusaha untuk melontarkan humor, tapi tidak ada yang tertawa?”
“Saya takut tidak lucu…”
Kata-kata di atas adalah kalimat yang lazim dilontarkan pemimpin saat ditanya kenapa tidak menggunakan humor saat memimpin, terutama saat bersama anak buahnya. Padahal ternyata lebih penting MENGAPRESIASI humor dibandingkan dengan MENJADI lucu. Seorang pemimpin akan menjadi lebih baik jika sukses menjadi apresiator humor dibandingkan menjadi inisiator humor jika memang pemimpin tersebut tidak berbakat melucu. Akan lebih penting menjadi otentik diri sendiri dibandingkan memaksakan diri menjadi lucu. Sebagai seorang pemimpin, menjadi apresiator humor artinya adalah memahami bahwa humor adalah sarana yang powerful jika ia mampu menemukan humor pada suatu situasi di saat orang lain tidak mampu. Artinya pula, ia mampu mendorong orang lain melontarkan humor dan menciptakan lingkungan yang nyaman bagi semua orang untuk dapat mengekspresikan selera humornya (Buxman, 2016). Jadi, bukan berarti kita harus bisa membuat semua orang tertawa! (semoga penjelasan ini dapat membuat Anda lega!)
Keberhasilan penggunaan humor dirasakan oleh Danny Septriadi yang kemudian dituangkan dalam testimoninya berjudul “Peran Humor dalam Profesi Serius” di buku Humor yang Adil dan Beradab, diterbitkan pada pelaksanaan Simposium Humor Nasional, September 2016. Seiring dengan penggunaan humor dalam pekerjaannya sebagai akademisi dan praktisi pajak, Ia bukan hanya mampu mengindentifikasi atau mengapresiasi hal-hal yang lucu tapi juga mampu mengkreasi hal-hal yang lucu juga, dengan cara berpikir terbalik dan membandingkan, ternyata juga sangat berperan untuk berpikir lebih jernih dalam memahami permasalahan yang sebenarnya (narrowing the real problems) dan menyelesaikan (problem solving capabilities) kasus pajak dengan cara yang kreatif (Septriadi, 2016).
Perilaku humor yang kreatif dan sanggup menyegarkan suasana kerja juga bisa dilihat dalam buku karya P Sartono “Bila Karya dan Canda Dikawinkan”. Di halaman 130, Sartono berkisah ketika Ia menjadi sekretaris perusahaan di sebuah perusahaan pelat merah dan terkena efek efisiensi ketika melaksanakan rapat kordinasi (rakor). Kegiatan yang biasanya membagikan tas guna menyimpan dokumen rakor, ditiadakan dengan alasan penghematan. Sartono tidak kehilangan akal, bukannya melakukan penghematan Ia malah mengedarkan daftar pengisian ukuran sepatu dan pilihan antara jam tangan digital atau jam otomatis yang harus diisi oleh seluruh peserta. Akhir pelaksanaan rakor dapat dibayangkan perasaan peserta rakor yang berharap akan mendapatkan sepatu atau jam tangan. Akan tetapi alih-alih membagikan barang-barang, Sartono malah mengumumkan bahwa daftar isian tersebut adalah riset untuk mengetahui ukuran sepatu siapa yang paling besar dan paling kecil, serta jam tangan mana yang paling digemari antara jam otomatis atau digital, kontan saja seluruh peserta termasuk jajaran Direksi tertawa serentak. Karena korbannya banyak dan idenya orisinil, membuat kejadian tersebut menjadi momen yang tak terlupakan oleh seluruh peserta yang hadir saat itu.
Apabila masih sulit juga menggunakan humor di dalam pekerjaan, maka kita bisa menggunakan organization’s joker, atau orang yang paling lucu di kantor. Biasanya, dalam setiap kantor ada orang-orang yang biasa melucu atau ‘membadut’ dan menciptakan suasana gembira di pekerjaan. Orang-orang ini memiliki keahlian yang menonjol dalam humor, dapat bergaul secara cerdas dan bisa melenturkan pagar-pagar sosial yang kaku, karena ia mampu mengidentifikasikan budaya perusahaan dan memahami nuansa kontekstualnya terlebih dahulu (Plester, 2016). Bagi perusahaan yang memiliki organization’s joker ini, maka Anda beruntung karena ia telah lebih dulu mengobservasi budaya perusahaan (tanpa Anda perlu bersusah-payah) dan mengaplikasikannya ke dalam humor. Anda tinggal mempelajari humor yang biasa ia gunakan, dan mengadaptasikan dengan diri Anda sendiri. Dengan ‘membaca’ perilaku humornya, maka bukan sesuatu yang mustahil bagi Anda untuk dapat membuat humor Anda sendiri. You read humor, you think humor and you’ll create humor!
Penggunaan humor sangat mungkin diaplikasikan di sela-sela pekerjaan ketika solidaritas tim sedang diperkuat, untuk itulah humor hadir dalam bentuk senda gurau sederhana antar rekan kerja. Akan tetapi penggunaan humor tentunya harus berdasarkan pada kesepakatan antar atasan dan bawahan karena humor baru bisa berfungsi maksimal ketika kedua belah pihak berada di frekuensi yang sama. Konkretnya humor adalah kesepahaman kolektif.
Tentunya penggunaan humor dalam dunia kerja punya beragam potensi penggunaan hampir di semua lini karena berdasarkan tinjauan literatur dari koleksi buku yang dimiliki Ihik3; kajian humor di tempat kerja dapat dibagi menjadi interaksi humor antara karyawan dan sesama karyawan, humor antara manager dan manager serta yang terakhir humor antara manager dan pimpinan perusahaan (Septriadi, 2017).
Penggunaan humor secara tidak langsung selain akan mempererat hubungan antar-anggota tim sehingga tercipta solidaritas yang kuat, juga akan membangun komunikasi yang lebih lentur antara pimpinan dan staff, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa pimpinan yang humoris lebih dicintai dibandingkan dengan pimpinan yang kaku dan tak berperi-kehumoran. Dan harap diingat penggunaan humor dalam dunia kerja tidak untuk menghasilkan gelak tawa yang membahana tapi tersenyum saja sudah cukup agar kita bahagia. Mudah, kan…? (YaF dan NoW)
DAFTAR PUSTAKA
Buxmann, K. (2016). Lead with Levity: Strategic Humor for Leaders, Levity Works Publishing.
Bluemenfeld, E., & Alpern, L. (1994). Humor at Work: The Guaranteed, Bottom-line, Low-cost, High-efficiency Guide to Success Through Humor. Peachtree Publishers.
Jonas, P. M. (2004). Secret of Connecting Leadership & Learning with Humor. Scarecrow Education.
Gostick, A., & Christopher, S (2008). The Levity Effect: Why it pays to lighten up. John Wiley & Sons, Inc
Martin, R. A. (2007).The Psychology of Humor: An Integrative Approach. Elsevier Academic Press.
Meggert, S. S. (2009).Creative Humor at Work: Living the Humor Perspective. University Press of America.
Plester, B. (2016). The Complexity if Workplace Humour: Laughter, Jokers and the Dark Side of Humour. Springer International Publishing Switzerland.
Robert, C. (2017). The Psychology of Humor at Work. Routledge.
Sampietro, M. (2017). Humor at the Workplace. Rupa Publications India Pvt.
Sartono, P. (2017). Bila Karya dan Canda Dikawinkan: Gaya Manajemen Si Mantan Sipir. Amara Books.
Scheel, T, & Gockel C. (2017). Humor at Work in Teams, Leadership, Negotiations, Learning and Health. Springer Brief in Psychology.
Septriadi, D. (2016). Humor yang Adil dan Beradab: Simposium Humor Nasional. Ihik3
Septriadi, D. (2017). Launching of The Library of Humor Studies. Ihik3