Memprotes Dengan Humor, Tanpa Diprotes Balik

Memprotes dengan Humor, Tanpa Diprotes Balik

Spanduk viral demo 11 April 2022 (sumber: Istimewa)

“Protes dengan lelucon memang tidak efektif, kalau dilihat dari sudut pandangan politik.”

Datang-datang, Dr. K.H. Abdurrahman Wahid langsung berpendapat, seakan-akan sedang melempar pandangannya soal diskursus demonstrasi generasi muda Indonesia yang kini dianggap lebih menarik daripada dekade-dekade sebelumnya karena dihiasi oleh peralatan aksi bernada humor. Saya yang lagi membaca kolom beliau, Melawan dengan Lelucon (19 Desember 1981), sambil melamun sampai terkejut.

“Konyol lah itu, orang-orang naif yang berharap dengan cuma mengangkat tinggi-tinggi spanduk atau protes protes bernada humor, sambil mengunggah fotonya di media sosial biar tetap eksis, maka keadaan negara ini bisa berubah!” lanjut Gus Dur yang sedang memperbarui referensi dalam tulisannya 40 tahunan lalu itu. “Mana ada gerakan politik besar di dunia ini yang dilandasi oleh ‘manifesto’ berupa lelucon? Enggak ada, kan?”

Tidak selang lama, ia juga lanjut menggerutu, yang intinya: bakal aneh juga pasti kalau partai besar berjargon “siap menyalurkan aspirasi rakyat, dengan lelucon.”

“Lagian, humor itu bisa apa, sih?” nada Gus Dur seketika meninggi. Saya masih khidmat mengikuti.

“Ideologi-ideologi besar, termasuk Pancasila yang kita anut, saja masih harus ditopang dengan berbagai penyangga agar bisa dihormati dan dipatuhi banyak orang. Ya penyangga-penyangga kayak sentimen primordial, kondisi ekonomi, unsur keagamaan, macam-macam itu, lah. Mustahil kan humor tiba-tiba mau mengubah keadaan suatu negara apalagi mengubah dunia sendirian?”

Saya manggut-manggut.

Tapi, sebagai tokoh yang humornya biasa menggelegarkan tawa di Nusantara, Gus Dur pasti tak enak hati kalau hanya menjelek-jelekkan salah satu senjata berkomunikasi yang sangat ia kuasai itu. Apalagi, kalau hal itu dilakukan di hadapan saya, seorang yang mungkin masih naif memandang fungsi humor, yang dalam berhumor sehari-hari juga masih menganggapnya sebatas untuk lucu-lucuan saja ini.

“Lelucon, atau bentuk apa pun dari humor, memang tidak akan mengubah keadaan dengan tenaganya sendiri, Wan. Tapi humor yang kreatif sekaligus kritis akan menjadi bagian penting dalam tradisi perlawanan kultural suatu bangsa,” ujar beliau sembari menepuk bahu saya.

Sedikit terasa nyeri rasanya, karena saya baru mendapatkan dosis vaksin penguat semalam.
Melawan dengan lelucon, versi Gus Dur, perannya lebih banyak berada di ranah sosial dan psikologis.

Misalnya, humor cocok untuk membantu publik memahami masalah dan mengidentifikasi lawan bersama yang sedang dihadapi dengan bahasa yang sederhana sekaligus menarik. Harapannya, humor bisa menyatukan mereka. Humor juga menjadi saran penyaluran kejengkelan dan agresi yang lebih aman, daripada melalui kekerasan maupun kerusuhan.

“Bangsa yang mau melakukan itu, pastilah cuma bangsa yang tidak ingin kehilangan kewarasan dan sikap berimbangnya di tengah kondisi sulit dan pahit.” Habis berkata begitu, Gus Dur langsung ngibrit begitu saja. Humoris level tinggi mah bebas, ya.

Ngomong-ngomong, poin-poin Gus Dur soal peran humor dalam aksi-aksi politis, seperti aktivisme, tadi turut diperkuat oleh Majken Jul Sørensen (Humor in Political Activism: Creative Nonviolent Resistance, 2016). Dari kajiannya terhadap aksi-aksi politis nonkekerasan di berbagai negara, ia menemukan bahwa humor adalah medium yang sangat baik untuk menjangkau media massa dan masyarakat awam akan isu yang sedang diangkat.

Kedua, humor juga sarana yang apik untuk menggaet dan memobilisasi aktivis baru. Terakhir, yang tidak kalah penting, humor menghindarkan para pelaku aksi dari kekelahan (burnout), sehingga usia aksi bisa lebih panjang alias berkelanjutan.

Risiko dan dilema
Kendati demikian, kita tidak bisa menutup mata, bahwa strategi berdemonstrasi dengan membawa poster-poster humoristis juga telah mengundang cibiran dari sebagian kelompok masyarakat. Dalam aksi 11 April 2022 kemarin, misalnya, isu-isu utamanya sebenarnya tetap coba disentuh, tetapi ketidaksimpatian terhadap pelaku aksi timbul salah satunya karena humor yang membalut isu tersebut masih bernuansakan humor seputar seks.

“Cukup perawan yang langka, minyak goreng jangan.” Begitu isi tulisan di poster yang dibentangkan salah seorang mahasiswa yang viral.

Sedangkan tiga komentar berikut, tampak diusung oleh para mahasiswa dan mahasiswi:

“Daripada BBM naik, mending ayang yang naik.”

“Lebih baik bercinta 3 ronde daripada harus 3 periode.”

“Harga minyak kayak harga MiChat.”

Foto-foto demonstran dengan posternya itu pun dicap cringe atau menjijikkan oleh beberapa orang di media sosial.

Hal ini tentu sangat disayangkan. Sudah humor itu sendiri naturalnya bersifat memecah-belah publik (misalnya memisahkan pihak pengkritik dan yang dikritik), yang ditampilkan dalam aksi juga humor-humor selangkangan yang lekat dengan anggapan ofensif atau “rendahan”. Posisi demonstran makin terpojok lagi karena mayoritas pelaku aksi tersebut datang dari kalangan mahasiswa yang dipandang “terpelajar”.

Dalam literatur yang sama, Sørensen telah mewanti-wanti kalau aktivisme memakai humor punya risiko dan dilema tersendiri, ketimbang aktivisme konvensional.

Anggapan bahwa humor adalah lawan kata “serius” jadi tantangan terberatnya. Pemikiran “protes yang ‘serius’ saja sering gagal dan tidak digubris, bagaimana dengan aksi yang bermuatan humor?” terlalu kuat menghantui peserta aksi maupun awam. Alhasil, implementasi aktivisme dengan humor di dunia ini jumlahnya masih sangat sedikit.

Belum lagi adanya risiko humor yang rentan disalahpahami. Biasanya, hal ini disebabkan oleh dua faktor: 1) rendahnya kemampuan para pelaku aksi dalam mengonsep humor (kegagalan menyederhanakan realita dalam premis humor, analogi yang kurang relevan, target humor yang tidak sesuai, dan lain-lain); serta 2) humornya terlalu menyamarkan esensi aksi, sehingga publik gagal menangkap kritik yang dilayangkan atau ajakan untuk melakukan perubahan.

Namun begitu, generasi kita sebaiknya tidak menceraikan humor dengan aktivisme. Pasalnya, terlalu banyak manfaat humor yang belum ada penggantinya di ranah tersebut.

Perkara bahwa yang sudah dilakukan kemarin masih dikritik atau menjadi backfire, ya tidak apa. Tugas kita sekarang dan ke depan adalah terus mengasah kekritisan serta kreativitas, supaya tetap bisa memprotes dengan humor, tanpa diprotes balik humornya.

 

Ulwan Fakhri – peneliti humor di Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3)

 

Copyrights 2019 | IHIK