Kalau saja para kesatria dahulu kala tahu apa yang orang-orang zaman sekarang lakukan untuk bisa dianugerahi gelar “kesatria”, mereka pasti akan merasa kerdil.

Alkisah, menjadi seorang kesatria di masa lampau modalnya “cuma” sedikit. Ya sebatas gagah berani, piawai dalam memainkan senjata, atau memenangkan perang-perang yang begitu-gitu saja saja – yang “ting… tang… ting… tang… ting…” lalu mati atau menang itu.

Seabrek contoh kesatria ada di dunia pewayangan, seperti Bima dari geng Pandawa. Daratan Benua Biru juga punya kesatrianya sendiri, sebut saja Sir Lancelot yang paling mencolok di deretan Kesatria Meja Bundar di legenda Raja Arthur.

Dalam perkembangannya, yang dilakukan para kesatria pun masih “begitu-begitu” saja. Ambil misal Khalid bin Walid, penjihad yang membawakan kemenangan di banyak peperangan, atau Miyamoto Musashi, samurai cum ahli pedang yang sudah menghabisi nyawa musuhnya pada duel pertamanya di usia 13 tahun.

Bagaimana dengan Leonidas, kesatria bangsa Sparta yang tak kalah melegenda itu? Tidakkah cukup impresif? Bombastis? Standar, seperti yang sudah-sudah.

Klaim yang sangat berani ini muncul karena belakangan muncul fenomena baru bernama Kampung Kesatria. Ya, belakangan memang banyak berdiri kampung-kampung tematik unik. Ada kampung yang rumah-rumah warganya dicat warna-warni atau seragam satu warna. Ada juga kampung yang profesi penghuninya sama semua, mulai dari pengrajin dompet sampai pencopet.

Nah, kalau yang namanya Kampung Kesatria adalah kampung yang secara gotong-royong rajin sekali mencetak kesatria-kesatria.

Contohnya, di kampung itu, pernah ada orang yang ditahbiskan sebagai kesatria karena kemampuannya berbicara dengan api. Ceritanya, suatu hari warga bahu-membahu membangun dapur umum. Seorang pemuda setempat bernama Pole tidak terlibat langsung dalam proyek itu, tetapi sebagai satu-satunya orang yang pekerjaannya sehari-hari memlintir-mlintir sumbu kompor di kampung, tentu perannya sentral dalam kelangsungan fasum tersebut.

Pole – yang kenal baik dengan si api yang biasa membakar sumbunya – lalu mengajak benda panas itu bernegosiasi supaya ia lebih rakus melahap sumbu dapur umum tersebut, sehingga alokasi dana dari kas kampung untuk membeli sumbu kompor Pole membengkak.

Kecurangan Pole ini selang beberapa waktu terendus oleh warga dan memicu kemarahan mereka. Akan tetapi, Pole segera mengakui kesalahannya sekaligus meminta maaf dan berhenti menjadi pemasok sumbu. Strategi Pole berhasil. Warga sampai ketua RT Kampung Kesatria pun dibuat terharu olehnya hingga kemudian secara ramai-ramai dan sukarela menyematkan predikat ‘kesatria’ padanya.

Cerita ini langsung menyebar ke seluruh rumah di kampung itu. Alhasil, anak-anak di sana pun kini menolak keras kala didongengi kisah-kisah hewan yang bisa berbicara atau fiksi-fiksi tak masuk akal lain sebelum tidur. Pokoknya harus tentang kisah Pole atau orang-orang heroik lain yang disimbolkan menjadi kesatria di kampung tersebut. Titik. Kalau tidak dituruti, mereka tak segan untuk mogok tidur.

Sementara nun jauh sana, Leonidas menepok jidatnya sendiri. Bukan karena di akhirat banyak nyamuk, hanya ia merasa sia-sia tidak pernah bolos agoge – program tempaan untuk warga Sparta muda, dari pelatihan militer, berburu, sampai berdansa dan bernyanyi.

Ini bukan kali pertama Leonidas merasa kesal. Pasalnya, dari hasil googling-nya, pernah ada tokoh-tokoh lain di kampung-yang-tidak-tercantum-di-atlas-mana-pun itu yang dianggap menjadi kesatria dengan cara-cara yang sangat berbeda dengan di zamannya dulu.

“Alah… nyesel aku gak hidup di kampung itu aja!” Leonidas memaki layar gawainya yang lantas didengar seekor nyamuk di dekatnya. Sedari tadi, sebenarnya ia terbang di sekitar Leonidas, tapi si nyamuk ternyata merasa sungkan menyedot darah kesatria tier dua itu.

Sambil lanjut googling, Leonidas menemukan kisah sukses kesatria paling gres di kampung tersebut. Yang satu ini masih kinyis-kinyis, baru menamatkan pendidikannya di kota – double degree bahkan: SMA dan SMK, serta punya bisnis onde-onde sukses yang jumlah wijen di tiap butirnya diklaim selalu tepat 1.000 biji. Banyak pria ingin melamarnya; Pak RT Kampung Kesatria juga menyatakan hasrat menjadikan Muin anak angkat, tapi ia tegas menolak.

Namun, apa mau dikata, Kampung Kesatria tiba-tiba dilanda musim paceklik. Makanan susah sekali didapat. Akhirnya, Muin dan sejumlah pebisnis kuliner lainnya yang dianggap inovatif diminta Pak RT untuk menyediakan sarapan ke seluruh Kampung Kesatria setiap harinya. Tiap pagi Muin dan kawan-kawan pun sibuk memasok onde-onde, kerupuk, meses cokelat, dan lain-lain.

Baru beberapa minggu berjalan, Muin memilih meninggalkan kursinya. Pak RT kaget dan segera menanyakan keputusannya itu. Katanya, ada warga yang berhasil mengungkap jumlah wijen di onde-ondenya yang ternyata hanya 998 biji. Menu lain pun tak lepas dari silap. Meses coklat, misalnya, walau rasanya seperti cokelat ternyata warnanya tidak cokelat-cokelat amat – lebih ke magenta. Kerupuk juga begitu, waktu dimakan tidak berbunyi “kres… kres…”, malah “nyot… nyot…”.

Warga pun mulai geram, menuding Pak RT memilih Muin berlatar belakang motif cinta ayah kepada anak angkatnya semata. Muin pun minta maaf atas kesalahan produksi yang disengajanya itu. Tekadnya untuk berhenti menyediakan sarapan pada warga lebih bulat daripada onde-onde buatannya demi menghindari kecurigaan adanya konflik kepentingan dan konflik lain yang lebih panjang.

Akan tetapi, bukannya makin reda, warga Kampung Kesatria malah makin riuh. Mereka sekarang bereuforia dan dengan senang hati mengelu-elukan Muin sebagai kesatria baru di kampung ini, karena dipandang lebih berjiwa berani ketimbang rekan-rekannya yang lain yang masih bergeming di dapurnya masing-masing.

“Kok bisa ajaib banget sih ini warga Kampung Kesatria?” gerutu Leonidas yang membaca berita soal Muin dari layar gawainya. Masih sambil nongkrong di akhirat.

Yaelah, Das!” Sir Lancelot tiba-tiba ikut nimbrung di tengah Leonidas dan nyamuk yang masih sungkan tadi sambil membawa beberapa biji anggur dalam kausnya yang ia jadikan seperti kantong kanguru. “Chill!” lanjut mas-mas bule itu sambil mulai mengusap anggur-anggurnya satu demi satu sampai mengkilap sebelum disantap.

“Maksud saya, oke lah kita berdua ini termasuk kesatria tier dua gara-gara cuma bisa bunuh-bunuhin orang dan kebetulan masih hidup karena bisa ngeles beberapa kali waktu disabet pedang, tombak, atau celurit residivis program asimilasi yang baru dilepas tapi langsung berulah lagi. Tapi definisi ‘kesatria’ yang dipakai di kampung antah berantah ini enggak jelas banget!” urat leher Leonidas mulai menegang, seperti saat mau teriak “This is Sparta!”.

 “’Kesatria’ umumnya merujuk ke orang atau prajurit yang gagah berani. Untuk kasus-kasus tadi, aspek gagah beraninya di mana? Gagal paham saya. Terus kalau mau didalami lagi filosofinya, malah enggak sesuai sama sekali. Kesatria ini kelasnya para bangsawan, raja, termasuk tokoh masyarakat yang punya jiwa untuk membela kaum yang tertindas, melawan ketidakadilan, bahkan mengabdikan dirinya pada kebenaran serta keamanan masyarakat, bangsa, dan negara, lho!”

“Das… das…” Sir Lancelot yang sudah selesai mengelap anggur-anggur mulai mengunyah anggur khas akhirat itu dengan rakus. Beberapa droplet pun keluar dari mulutnya yang sedang juicy.

Jijik melihat itu, si nyamuk akhirnya menyingkir dari tongkrongan. Seraya bergegas mengepakkan sayapnya, ia membatin, “Oh, jadi kalau mau diangkat sebagai kesatria di Kampung Kesatria caranya tinggal bikin blunder, minta maaf, lalu mundur dari jabatan, toh?”

Ulwan Fakhri – peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3)

(sumber foto: pixabay.com)

Leave a Reply