“Anak yang senang main musik akan dianjurkan untuk masuk ke kelas musik. Anak yang pintar menggambar akan dianjurkan untuk masuk ke kelas menggambar. Di lain pihak, anak yang senang melucu di kelas akan dimasukkan ke ruang kepala sekolah!”Tanggung jawab pengajar sejatinya tidak terbatas hanya membuat siswa paham pada bahan ajarnya atau mengejar nilai semata demi mendapatkan “nama atau reputasi” sebagai sekolah favorit, tetapi juga menjaga anak didiknya agar tak sampai tertekan psikisnya – setidaknya, meminimalisasi depresi yang muncul dari lingkungan sekolah. Realitanya, hasil pencarian melalui Google menggunakan kata kunci “bunuh diri usia sekolah karena nilai jelek” dan “bunuh diri usia sekolah karena diejek (bully)” menghasilkan fakta yang memilukan. Di lain pihak, sepertinya “hal yang sangat serius” tersebut tidak pernah mendapatkan perhatian yang “serius” atau malah terkesan ditutupi oleh pihak sekolah, keluarga, dan pemerintah untuk “menjaga nama atau reputasi”. Artikel ini membatasi terkait lingkungan sekolah.
Dalam hidup ini, ada beberapa momen saat kita harus legawa mengakui kesalahan, meminta maaf, dan berusaha memperbaikinya, termasuk apa yang sudah kita lakukan terhadap humor. Di beberapa tempat seperti institusi pendidikan, humor seakan dimakzulkan, karena berafiliasi dengan kebiadaban serta kekonyolan yang membuatnya kontras dengan gambaran seseorang yang terpelajar. Perasaan senang dan bahagia di tengah aktivitas belajar-mengajar pun seperti dianggap hal yang mubazir. Salah satu tokoh pemikir humor, John Morreall, telah merunut mengapa humor sampai diposisikan sedemikian rendahnya. Kritik ini ia sasarkan kepada Plato, yang telah menyebarkan paradigma bahwa humor dapat merusak karakter seseorang, menjadikannya hina, sampai membuat seseorang kehilangan rasionya hingga tak ubahnya makhluk yang pandir dan tak bertanggung jawab (Morreall, 1983).
Di lain pihak, Lowman (1995) menjelaskan kalau implementasi humor dalam kelas dapat membangun koneksi positif antara guru dan murid serta secara cepat melibatkan para murid dalam proses menerima pelajaran. Humor berdaya kuat untuk membakar jembatan intimidasi atau rasa takut yang dialami murid kepada para pendidiknya, lalu membangun jembatan baru bermaterialkan kegembiraan, ketenangan, dan rasa percaya diri untuk menghubungkan keduanya. Kemudian, humor pun secara instan mampu membantu para murid untuk lebih fokus, bahkan memicu ketertarikan dan kreativitas. Dampaknya, keterlibatan dalam proses belajar mengajar bisa mereka tempuh dengan sukacita (Lowman, 1995; Martin, 2007; Savage, Lujan, Thripparthi, & DiCarlo, 2017). Sebagai patokan, Finlandia – yang sejak dimulainya era milenium dipandang sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia – sejak tahun 2016 telah menerapkan kurikulum berbasis kebahagiaan di sekolah-sekolah komprehensifnya (sekolah tingkat menengah yang memberikan kombinasi kurikulum sekolah umum, sekolah teknik, dan sekolah modern) (Walker, 2017).
Mampukah humor berperan untuk mereduksi depresi yang timbul di lingkungan sekolah yang merupakan salah satu pemicu aksi bunuh diri? Seperti premis maslahat humor di atas, secara psikologis, humor juga obat yang mujarab. Freiheit, Overholser, dan Lehnert (1998) telah membuktikan bahwa humor dan depresi itu berelasi. Untuk mengurangi kemungkinan siswa tertekan karena kesulitan memahami suatu materi, misalnya, humor sudah digunakan secara terkonsep dalam beberapa tahun terakhir, dengan cara guru yang membawakan joke dengan tema terkait hingga menampilkan ilustrasi dan gambar lucu dari materi yang diajarkan (Martin, 2007). Humor juga berfungsi sebagai upaya untuk menghilangkan stres yang dilakukan secara sadar (coping mechanism). Booth-Butterfield, Booth-Butterfield, & Wanzer (2007) dalam risetnya mengungkap bahwa interaksi yang padat dengan nuansa humor mampu membantu para pelajar mengatasi stres yang mereka derita. Sejumlah riset terkait selera humor dan ketahanan mental yang dihimpun McGhee (2010) juga menunjukkan kalau orang-orang dengan selera humor tinggi cenderung melihat tugas berat, termasuk ujian sekolah, sebagai tantangan, bukan sumber stres. Maka dari itu, penggunaan humor di kelas sebagai coping mechanism dapat memungkinkan siswa untuk melawan stres dan tetap termotivasi untuk belajar. Sejalan dengan pendapat tersebut, Force (2011) menyatakan bahwa humor adalah “sarana intelektual canggih untuk mengembangkan perspektif baru dan mengatasi keadaan ekstrem.” Terakhir, Mahatma Gandhi lewat salah satu kutipannya yang terkenal juga berpesan, “Kalau saya tidak punya selera humor, saya sudah lama bunuh diri.”
Lantas, dari mana seorang tenaga pendidik bisa mulai menciptakan ruang kelas yang bernuansa humor? Humor yang bisa dipakai oleh guru di dalam kelas banyak jenisnya. Ada humor tanpa target, yang meliputi permainan kata-kata (pun) dan lemparan hiperbola humoristis; humor non-verbal, misalnya memainkan ekspresi muka dan memakai intonasi vokal yang konyol; serta humor yang mengarah ke sang guru sendiri (self-deprecating), seperti joke mengolok diri sendiri dan menceritakan pengalaman pribadi yang memalukan (Neuliep, dalam Martin, 2007).
Jika Anda adalah guru, tidak perlu takut mencoreng persona Anda di hadapan para siswa, kehilangan kontrol akan kelas, atau menjadi korban keisengan para murid Anda sendiri gara-gara mengimplementasikan humor. Humor, dalam dosis yang tepat, bukanlah perusak karisma atau sistem manajemen kelas yang telah Anda canangkan. Anda hanya membutuhkan sedikit taburan bumbu humor karena Anda adalah seorang guru, bukan komedian profesional, sehingga tak ada beban ekspektasi untuk selalu melucu. Tujuan utama Anda hadir di kelas pun bukan untuk membuat orang-orang di hadapan Anda tertawa setiap saat, bukan?
Anda mungkin merasakan, hingga saat ini, kebanyakan ruang kelas masih menjadi wadah penggodok otak kiri. Padahal, Pink (2005) berargumen kalau saat ini individu yang mengandalkan kapabilitas otak kirinya tak lagi cukup untuk mengarungi dunia (pernahkah terbesit di pikiran Anda kalau aktivitas komputasi yang jadi keahlian otak kiri semakin hebat diadopsi oleh komputer atau mesin?). Justru, para pengandal otak kanan dengan fokus pada kemampuan mencipta, berempati, dan melakukan sekaligus menghadirkan kesenanganlah yang kini sedang membentuk masa depan dengan profesi semacam inovator, desainer, atau storyteller (Pink, 2005). Belum lagi masih masifnya adopsi sistem pembelajaran yang cenderung mencetak para pengejar nilai, dengan ciri seperti banyaknya beban pelajaran dan tugas yang diberikan hingga menitikberatkan pada polimetik, bukan spesialisasi. Hal ini bisa menjadi pemicu pelajar tidak rileks di dalam kelas, sehingga menyulitkan dirinya sendiri.
Plato, dengan teori superioritas humornya, tidak salah. Namun, dengan pertimbangan banyaknya manfaat humor saat dihadirkan dalam kelas, hendaknya para akademisi dan tenaga pengajar dengan bijak mengakui ketidaktepatan perlakuan kita terhadap humor di institusi pendidikan masa lampau, meminta maaf atas apa yang terjadi atas dampaknya, dan bersama memulai era sekolah dengan pendidikan berbasis humor dan kebahagiaan.
Penulis sendiri bukanlah seseorang pakar di bidang pendidikan dan psikologi. Tulisan ini pun baiknya dipandang sebagai pemantik agar para ahli dari berbagai disiplin ilmu mulai mengkombinasikan keahliannya dengan topik humor. Selain itu, besar harapan supaya polemik depresi pada pelajar ini tidak berlarut-larut dan institusi pendidikan bisa lepas dari sindiran Morreal (2016) yang menohok berikut: “Anak yang senang main musik akan dianjurkan untuk masuk ke kelas musik. Anak yang pintar menggambar akan dianjurkan untuk masuk ke kelas menggambar. Di lain pihak, anak yang senang melucu di kelas akan dimasukkan ke ruang kepala sekolah!”
Ulwan Fakhri – Penulis adalah peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3).
Referensi:
Booth-Butterfield, M., Booth-Butterfield, S., & Wanzer, M. (2007). Funny Students Cope Better: Patterns of Humor Enactment and Coping Effectiveness. Communication Quarterly, 55(3), 299-315. doi: 10.1080/01463370701490232.
Freiheit, S., Overholser, J., & Lehnert, K. (1998). The Association Between Humor and Depression in Adolescent Psychiatric Inpatients and High School Students. Journal of Adolescent Research, 13(1), 32-48.
Force, N. (2011). Humor’s Hidden Power: Weapon, Shield, and Psychological Salve. Los Angeles: Braeden Press.
Lowman, J. (1995) Mastering the Techniques of Teaching (2nd ed.). San Francisco: Jossey-Bass.
Martin, R. (2007). The Psychology of Humor: An Integrative Approach. Burlington, San Diego, London: Elsevier Academic Press.
McGhee, P. (2010). Humor: The Lighter Path to Resilience and Health. Bloomington: AuthorHouse.
Morreal, J. (ed.). (1983). The Philosophy of Laughter and Humor. New York: State University of New York Press.
Morreal, J. (2016). Laughing all the Way: Your Sense of Humor Don’t Leave Home Without it. Melbourne, Florida: Motivational Press
Pink, D. (2005). A Whole New Mind: Why Right-brainers Will Rule the Future. New York: Riverhead Books.
Savage, B., Lujan, H., Thipparthi, R., & DiCarlo, S. (2017). Humor, laughter, learning, and health! A brief review. Advances in Physiology Education, 41, 341–347.
Walker, T. (2017). Teach Like Finland (Mengajar Seperti Finlandia): 33 Strategi Sederhana untuk Kelas yang Menyenangkan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.