Oleh Ulwan Fahri
Strategi wawancara pura-pura Presiden Jokowi, ini layak kita kategorikan sebagai sebuah komedi.
BEBERAPA hari terakhir, kita disuguhkan dua parodi yang fenomenal. Pertama, ada penyanyi rap tunarungu pertama di dunia yang baru mengadakan konser di stadion yang penuh penonton, dan kedua, wawancara pura-pura oleh Presiden Joko Widodo.
Nama seniman tunarungu itu adalah MC Baba, yang berasal dari Republik Demokratik Kongo. Pada 10 Agustus 2024, ia mengadakan konser bersama penyanyi rap asal Prancis, Niska, di Stadion Alphonse Massamba-Debat, Brazzaville, Kongo. Dari potongan video yang dibagikan di akun TikTok-nya, Mc Baba Official, terlihat penonton memadati stadion berkapasitas lebih dari 33 ribu orang tersebut.
Nama MC Baba mulai menjadi perbincangan sekitar Juni 2024, setelah lagunya yang berjudul Oko Lela Epa Ya Nani (Untuk Siapa Kamu Menangis) menjadi hit. Lewat lagu ini, ia memperkenalkan genre musik baru bernama deaf hop ke seantero jagat.
Sebenarnya tak ada yang unik dari penampilan MC Baba. Dandanannya tampak seperti penyanyi rap pada umumnya: memakai baju kebesaran—kadang bertelanjang dada memamerkan tato-tatonya—berkacamata hitam, dan mengenakan kalung “blink-blink”.
Namun ciri khasnya baru terlihat begitu ia buka suara. Saat bernyanyi, MC Baba tidak melantunkan lirik dalam bahasa apa pun. Jelas hal ini sangat berbeda dengan para penyanyi rap yang lazimnya berakrobat lidah, membawakan bait-bait lirik yang ditulis secara rapi nan hati-hati.
Walhasil, bisa kita sebut figur MC Baba merupakan parodi dari penyanyi rap pada umumnya.
Parodi merupakan istilah yang digunakan sejak zaman Yunani kuno untuk menyebut versi konyol dari drama yang “serius”. Lantaran dulu kebanyakan karya yang “serius” itu berbau epos (cerita kepahlawanan) dan sarat unsur heroik, penggubah naskah komedi, seperti Aristophanes, membuat cerita yang memposisikan karakter-karakternya berada dalam situasi absurd atau bertindak bodoh (Encyclopedia of Humor Studies-Attardo, 2014).
Salah satu karya Aristophanes yang mengandung parodi dan cukup terkenal adalah The Frogs (dipentaskan pada 405 SM). Ia mempelesetkan karya Sophocles berjudul Oedipus Rex. Drama tragedi yang dipentaskan 20-30 tahun sebelum versi parodinya itu menceritakan aksi seorang raja bernama Oedipus yang mencoba menyelamatkan kotanya dari wabah. Pada akhirnya, Oedipus menyadari bahwa dialah biang keladi di kota tersebut.
Sementara itu, alur cerita The Frogs berpusat pada dewa teater dan pesta, Dionysus, yang mencari penulis drama tragedi terbaik agar teater kembali bergairah di Yunani. Dalam perjalanannya, Dionysus bertemu dengan sejumlah karakter dari kisah tragedi, termasuk Oedipus yang digambarkan buta lagi konyol.
Dari drama masa Yunani kuno, karya parodi lantas berkembang menjadi berbagai bentuk, seperti novel Don Quixote (1600-an) karya Miguel de Cervantes, esai A Modest Proposal (1729) karya Jonathan Swift, dan serial televisi The Simpsons (1989-sekarang).
Kini bangsa Indonesia mendapati bersama bahwa parodi tidak terbatas pada karya seni dan sastra. Pelakunya pun tak harus seniman. Komedi itu dipertontonkan oleh Presiden Jokowi. Bentuknya, dua kali parodi komunikasi publik yang ia lakukan dalam kurun waktu tujuh hari saja.
Pada 21 Agustus 2024, akun YouTube Sekretariat Presiden mengunggah video berdurasi 51 detik yang memuat tanggapan Jokowi mengenai pembahasan revisi UU Pilkada. Dalam video ini, hanya ada satu mikrofon yang ditodongkan ke Presiden tanpa adanya label yang menunjukkan dari kantor media mana alat perekam itu berasal.
Kejadian yang mirip berulang tujuh hari kemudian, tepatnya pada 27 Agustus 2024, saat Jokowi memberikan keterangan soal demonstrasi masyarakat yang menolak pengesahan revisi UU Pilkada oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan komentar soal kelanjutan RUU Perampasan Aset. Kali ini, tampak ada dua mikrofon, tapi masih juga terlihat polos.
Sepinya ornamen mikrofon dari media-media besar ini sangat berbeda dengan keterangan pers yang sarat akan kepentingan pemerintah, misalnya saat Jokowi berkunjung ke Ibu Kota Nusantara (IKN).
Sejumlah media nasional, termasuk Tempo, kompak menulis bahwa keterangan yang Jokowi berikan ala doorstep (mencegat narasumber untuk wawancara) itu hanya rekayasa. Tidak ada satu wartawan pun yang diberi tahu bahwa Presiden akan memberikan keterangan kendati mereka sudah berjaga-jaga di ruangan pers Istana Kepresidenan.
Strategi wawancara cegat pura-pura dari Jokowi ini layak kita kategorikan sebagai sebuah komedi. Levelnya bukan lagi humor yang biasa kita lontarkan sehari-hari. Sebab, yang membedakan dengan humor, komedi itu harus dikonsep dan dikemas sedemikian rupa—termasuk melibatkan aktor—hingga menjadi (atau menyerupai) sebuah pertunjukan.
Jika kembali merujuk pada konsep parodi di atas, tentu saja berpura-pura melakoni doorstep merupakan versi konyol dari wawancara langsung dengan para jurnalis yang memiliki nalar kritis. Sangat disayangkan, dalam situasi negara yang sedang gerah-gerahnya begini, Jokowi sebagai pucuk pimpinan negara justru berakting di depan kamera. Berparodi dengan lihainya.
Koran Tempo, Selasa 3 September 2024
https://koran.tempo.co/read/opini/489749/komedi-wawancara-pura-pura-jokowi