Yang dimaksud dengan Vitamin H di sini adalah humor. Betapa pentingnya peranan humor bagi manusia ternyata dari ungkapan-ungkapan seperti “Ketawa itu sehat”, “Hidup itu lucu”, dan lain-lain.
Dalam perjuangannya, manusia sering dihadapkan kepada berbagai kenyataan yang tidak selamanya menyenangkan. Humor menjadikan manusia mampu menanggapi kehidupan ini dari segi yang lucu dan riang. Ia memberikan spirit bagi kehidupan yang lebih sehat dan lebih menggairahkan.
Apakah sebenarnya humor itu?
Dalam artinya sehari-hari, humor sering dipersamakan dengan lucu, ketawa, dan komik. Pada dasarnya, setiap orang memiliki sense of humor, kesanggupan untuk menanggapi keadaan yang lucu di sekelilingnya. Bagi anak-anak, hal yang bisa menimbulkan kelucuan adalah sesuatu yang aneh atau tidak biasa, seperti anak kucing yang melompat-lompat, orang gila, atau badut-badut yang bergincu.
Kita sering tidak dapat menahan diri untuk mentertawakan kekeliruan atau bahkan kemalangan orang lain. Kita ketawa melihat seorang laki-laki yang terpeleset ke dalam got trotoar yang banyak menganga di kota kita akhir-akhir ini. Tetapi kalau orang tersebut sampai mati, masih mampukah kita ketawa? Dalam skala yang lebih besar, betapa banyak kelucuan di tanah air kita tercinta yang berakhir dengan tragis.
Secara psikologis, dapat diterangkan bahwa ketawa disebabkan oleh rangsangan dari suatu keadaan yang dapat menimbulkan kesan superior dalam diri kita. Karikatur-karikatur T. Sutanto, Harjadi, Keulman, Gandjar S., dan Sanelto, misalnya, memberikan gambaran kepada kita bahwa sebenarnya kita jauh lebih cerdik daripada para koruptor dan manipulator. Sadisme kita yang tidak kesampaian untuk menghajar segala macam penyelewengan dan kebobrokan mereka menjadi terpenuhi serta terpuaskan karenanya.
Humor sama usianya dengan peradaban manusia itu sendiri. Sejak Aristoteles hingga kini, tak kunjung putus-putusnya para ahli filsafat, seniman, dan kaum cendekiawan lainnya melakukan pemikiran serta pembahasan atas tema ini. Henri Bergson, misalnya, mengatakan bahwa sesuatu adalah lucu bila di satu pihak menimbulkan ilusi kehidupan dan di pihak lain suatu penemuan. Marcel Pagnol berpendapat bahwa sumber humor tidak terletak di alam, melainkan pada diri kita sendiri. Baik juga kita kutip diktum Kant yang menyatakan bahwa sebab musabab kelucuan dapat dicari pada “perubahan dari suatu suasana ketegangan yang diharapkan, secara tiba-tiba sirna menjadi suatu ketiadaan”. Thomas Hobbes mengemukakan bahwa “nafsu ketawa tidak lain adalah kepuasan yang muncul sekonyong-konyong bersamaan dengan kemuliaan diri”.
Sedangkan seniman pelawak Charlie Chaplin menerangkan tentang tokoh komik yang dibawakannya sebagai “membuat orang merasa lucu seperti jika orang lain melihat seseorang berkelakuan yang tidak patut”. Dan memang, dengan bajunya yang longgar, mengenakan topi bundar, membawa tongkat yang menarik perhatian orang lain karena nasibnya yang malang, selalu disalahkan, mengalah, tetapi berusaha melindungi kehormatannya dengan tingkah lakunya yang lucu dan kaku, Chaplin berhasil membuat berjuta-juta orang tertawa dengan penuh perasaan simpati.
Apapun kata mereka, satu hal adalah pasti: humor tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Dalam zaman serba kemelut dan serba mahal seperti sekarang ini, orang sering kali melupakan satu-satunya milik rohaniah yang sangat murah dan tak akan habis, yaitu humor. Ia merupakan obat yang paling mujarab bagi kesehatan tubuh serta jiwa manusia. Dengan humor, ketegangan syaraf Anda banyak dilonggarkan, menjadikan kehidupan ini lebih menyenangkan, lebih berwarna, dan lebih segar.
Humor bertalian erat pula dengan kebudayaan. Sebab hanya manusia yang memiliki sikap kultural sajalah yang sanggup menikmati humor yang mengandung perasaan kasih sayang serta toleransi terhadap sesama manusia. Apa saja yang bisa menimbulkan senyum, seperti sifat kepandiran yang jujur, kerakusan yang bodoh, dan kesombongan yang tolol, sesungguhnya tersua pula ada pada diri kita masing-masing. Ia menginsafkan akan ketidaksempurnaan manusia.
Dengan demikian, para diktator dan orang-orang fanatik, meskipun memiliki selera tertentu terhadap humor (ia ketawa terbahak-bahak selama “kelucuan” terjadi pada orang lain), jelas tidak memiliki sikap berbudaya sebagaimana layaknya.
Kepada Anda sekalian, saya anjurkan jangan sekali-kali tinggalkan humor. Betapapun berat penderitaan atau kesulitan Anda: take it easy, and keep smiling! Bukankah kehidupan manusia yang kecil di tengah alam yang besar merupakan suatu humor?
Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Jabar, no. 127, tahun 3, Minggu ke-3, 17 November 1968, hal 8
Oleh: D. Sudiana (Dendi Sudiana?)