Satir untuk Skandal Kebocoran Data Facebook
“Seems like the only way you can defend your privacy is to be off the grid. That’s why I’m launching my new service: Amsihbook. Everything about Facebook, except the electricity.” – Stephen Colbert (dari monolognya di The Late Show with Stephen Colbert, 2018, episode 522, 30 Maret 2018)
Kesatiran Stephen Colbert merespons skandal kebocoran data Facebook beberapa waktu lalu mencerminkan realita anyir yang sebagian besar orang tinggali. Bahwasannya di dunia ini, tak ada tempat yang 100 persen benar-benar aman, termasuk untuk data. Ide Colbert berupa “platform” pencatat data pribadi penggunanya hingga wadah untuk update status berbentuk buku (terjemahan harfiah dari “book”) – yang bilamana Anda ingin orang lain mengetahui status tersebut Anda harus membawa dan menunjukkan buku itu secara langsung pada yang bersangkutan – merupakan sindiran dan upaya penyadaran akan pentingnya keamanan data di era yang sudah serba digital ini.
Tentu saja, ini bukan kali pertama satir dipakai untuk mendobrak hal-hal yang terlanjur besar atau mengakar. William Hone, penulis radikal serta satiris Inggris di abad ke-19, pernah memparodikan doa-doa keagamaan untuk secara politis menyoroti bermacam-macam praktik korupsi yang tumbuh subur di negaranya. Mark Knights (dalam Knights dan Morton, 2017) berpendapat bahwa satir adalah medium yang wajar dan tepat untuk membicarakan korupsi dan menyadarkan publik akan ancaman yang ada di sekitarnya, seperti korupsi di Inggris yang saat itu amat variatif, sedari korupsi politis (degradasinya konstitusi), korupsi agama (penyimpangan dari ajaran murni dan lembaga keagamaan), sampai korupsi linguistik (memanipulasi masyarakat lewat teks). Stand-up comedian di Nigeria juga memilih satir untuk membicarakan “topik warung kopi” semacam kesengsaraan ekonomi, kurangnya fasilitas infrastruktur, dan nilai sosial yang telah banyak dilanggar masyarakat setempat ke audience yang lebih luas (Igomu, dalam Chukwumah, 2018).
Kendati demikian, satir adalah alat yang berbahaya. Ya, gaya bahasa yang dipakai untuk menyindir suatu keadaan atau seseorang itu, menurut Watson (2015), sangat mungkin untuk tidak dipahami oleh pendengar atau pembacanya. Alih-alih menjadi hal yang persuasif dan menyadarkan si objek, satir amat berpotensi disepelekan dan dianggap remeh karena “saking lembutnya” alat ini untuk menikam benak objek satir.
Padahal bagi pelakunya, memproduksi satir juga bukanlah pekerjaan yang mudah. Igomu (dalam Chukwumah, 2018), yang meneliti unsur satir dalam jokes komika di Nigeria, mengapresiasi komedian satiris karena mereka telah terdorong oleh realita yang mereka lihat, rasakan, atau alami untuk mempersuasi pendengarnya melakukan perubahan dan mengatasi masalah sosial yang serius lewat satirnya. Maka dari itu, diperlukan kesadaran dan sensitivitas tinggi, pengetahuan atau referensi yang memadai, juga kemampuan berbahasa yang di atas rata-rata hanya demi memproduksi satir.
Karena syarat-syarat itu sudah berat, sejatinya, satir tak usah lagi dicari-cari kelucuannya atau dipaksa agar lucu. Sebab, humor dalam satir ada di dalam satir itu sendiri. Jaya Suprana, salah satu tokoh humor nasional, mengatakan, “Humor biasanya tumbuh subur di suasana yang kontradiktif dan munafik” (Suprana, 2013, h.28). Definisi itu cocok untuk mendeskripsikan hal yang memang layak untuk disatiri.
Ketika objek satir dihujani satir dan ia tertawa – yang mengisyaratkan kalau dirinya paham akan hal itu, tetapi tidak mengubah atau minimal tergerak untuk melakukan perubahan apa pun, maka di dalam dirinya sudah ada kepura-puraan. Dalam dirinya sudah tersedia tanah gambut untuk humor yang layak digarap oleh siapa pun. Bahkan ketika objek satir gagal memahami satir yang dialamatkan padanya, hal itu juga merupakan sesuatu yang lucu bagi si satiris dan yang lainnya. Pasalnya, ketika satir memicu seseorang untuk berpikir dan yang bersangkutan justru gagal, maka tentu ada yang salah dengan dirinya; ya, dia sudah menjadi sumber humor untuk orang lain.
Contoh tumpulnya pisau satir di telinga para objeknya bisa dilihat dari lagu bervideo klip komedik “Andai Ku Gayus Tambunan” karya Bona Paputungan yang viral tahun 2011 pasca terungkapnya sandiwara nakal Gayus Tambunan, seorang mantan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Indonesia. Rahmiati (2011) dalam risetnya menjelaskan kalau objek satir dalam lagu tersebut sejatinya bukan hanya Gayus, tetapi juga instansi, pemerintah, dan siapa saja yang masih mempraktikkan suap, korupsi, dan perbuatan menyimpang lain untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Tujuh tahun berselang, nyatanya masih saja ada kabar di media kalau ada tokoh ini itu di pemerintahan yang ditangkap karena kasus-kasus tersebut.
Walau begitu, satir bukannya tak punya andil dalam perubahan besar di republik ini. Tanpa bermaksud memandang kerdil kontribusi dari pihak-pihak lainnya, lagu-lagu satir yang didendangkan Warkop sedikit banyak telah memberikan gambaran pada masyarakat, utamanya generasi muda, tentang represifnya rezim Orde Baru kala itu hingga membuat pendengarnya mendambakan kebebasan atau demokrasi. Potongan lirik “Jangan pada ngomong ngawur, ntar lo kebentur” dalam lagu “Obrolan Warung Kopi” versi soundtrack film Itu Bisa Diatur yang rilis tahun 1984, misalnya, mencatut bagaimana peraturan-peraturan yang ditegakkan waktu itu membuat masyarakat kesusahan beraspirasi. Organisasi atau individu yang vokal dan menentang kebijakan pemerintah acapkali dibekukan atau berakhir di bui (Thaariq, 2013).
Tulisan ini bukannya seakan-akan lagi, tetapi memang mencoba meninggikan derajat satir di tengah masyarakat. Bahwa satir lebih dari sekadar pemanfaatan ironi, sarkasme, parodi, juga hiperbola untuk menghibur. Satir adalah akselerator, transformator, pintu menuju masa peradaban manusia yang lebih baik. (Ulwan Fakhri)
Referensi:
Chukwumah, I. (Ed.). (2018). Joke-Performance in Africa: Mode, Media and Meaning. Routledge: London & New York.
Knights, M. & Morton, A. (Eds). (2017). The Power of Laughter and Satire in Early Modern Britain: Political and Religious Culture, 1500–1820. The Boydell Press: Woodbridge.
Rahmiati, D. (2011). Satire politik dalam lagu “Andai Ku Gayus Tambunan”. Jurnal Ilmu Komunikasi, 1(1), 69-78. Diakses dari http://interaktif.ub.ac.id/index.php/interaktif/article/download/134/131.
Suprana, J. (2013). Humorologi. PT Elex Media Komputindo: Jakarta.
Thaariq, M. (2013). Membaca Youth Culture Pada Lagu-Lagu Warkop. Skripsi thesis. Diakses dari http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-Artikel%20Jurnal%20-%20Mohammad%20Zaki%20070810463%20(A).doc.
Watson, C. (2015). Comedy and Social Science: Towards a Methodology of Funny. Routledge: London & New York.