Ritus Komedian: Kekejaman yang Mencerdaskan
Oleh: Bambang Haryanto
Apakah Anda mengenal Ellen DeGeneres ?
Apabila belum, silakan saja Anda membuka Wikipedia.
Ellen saya kenal pertama kali 13 Februari 2002. Di stasiun kereta api Gondangdia, Jakarta Pusat. Saat menunggu kereta dari Kota menuju Bogor. Dari membolak-balik buku The Comedy Bible (2001)-nya Judy Carter, saya kenal namanya. Saat itu buku tersebut baru saya ambil dari toko buku QB World of Books, Jalan Sunda, setelah sebulan sebelumnya saya memesannya dari Amerika Serikat.
Dalam buku itu Ellen DeGeneres dijadikan contoh proses kreatif seorang komedian. Lelucon, demikian kata Judy Carter, harus dimulai dari gagasan dan semua orang punya gagasan jenaka. Sebagai contoh, dipaparkannya tentang seorang Ellen DeGeneres yang mampu mengubah tragedi menjadi komedi. Dikisahkan ketika itu, saat Ellen berumur 19 tahun, teman perempuannya meninggal dunia. Dia yang merasa sendirian dan terganggu oleh kutu, kemudian memunculkan gagasannya untuk menulis rutin atau naskah lelucon yang berjudul: Bertelepon Kepada Tuhan
”Hallo, Tuhan, ini Ellen….Begini, Tuhan, ada kepastian di dunia ini. Tetapi saya tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Bukan, bukan tentang Fabio. Bukan. Tetapi hal yang pasti, maksud saya, Jesus Kristus. Bukan, bukan ia yang saya maksudkan. Ia sosok yang agung. Kita masih sering membicarakannya. Tetapi tidak kali ini, saya lagi berpikir mengenai serangga. Bukan lebah. Mereka hebat. Madunya. Serangga cerdas.
Terima kasih, Tuhan. Saya berpikir tentang kutu.. yang menurut saya tidak ada manfaatnya….(menunggu). Tidak, saya tidak menyadari betapa banyak orang yang bekerja di bidang industri kutu di kerah baju…belum lagi tentang obat semprot. Baiklah, aku pikir kau yang benar. Tentu saja kau selalu benar…..”
Demikianlah, gara-gara kutu, diimbuhi perhatian, kejelian dalam melakukan observasi, dan kemudian menuliskannya, akhirnya mampu melambungkan seorang Ellen menjadi komedian ternama. ”You’ve probably been thinking up ideas for many, many years. Well, now it’s time to write them down,” begitu nasehat Judy Carter. Demikianlah, menurutnya, komedian yang serius haruslah rajin mencatat ide-ide yang meletup setiap saat di benaknya.
Manfaat mengobservasi dan catat-mencatat juga berlaku untuk bidang lain. Majalah Reader’s Digest pernah memuat pernyataan menarik: “Apa yang terjadi bila satu bus penuh turis Jepang dibajak teroris? Polisi akan memperoleh 50 foto diri teroris dari pelbagai sudut.” Lelucon ini semata ingin menunjukkan kegetolan turis Jepang yang ke mana-mana memotret obyek wisata yang mereka kunjungi. Ternyata kebiasaan hebat turis Jepang bukan hanya terbatas pada aksi memotret-motret itu. Adalah Harry Davis, Wakil Direktur Program MBA di Sekolah Bisnis Universitas Chicago, Amerika Serikat, menyebutkan bahwa turis-turis Jepang itu juga membawa-bawa bloknot.
Mereka mencatat hal-hal khusus yang dapat mereka amati dari pelbagai penjuru dunia yang mereka kunjungi. Mereka melakukan tindak intelijen secara legal, mereka mengumpulkan data. Pelbagai data itu diolah dan dijadikan pertimbangan dalam menghasilkan produk yang diekspor Jepang ke seluruh dunia. Itulah cara Jepang menguasai ekonomi dunia.
Menurut Harry Davis, kebiasaan model turis Jepang itu harus dimiliki oleh setiap insan yang produktif, utamanya dalam mengembangkan dan mengasah keterampilan melakukan observasi. Kepada mahasiswa MBA-nya, seperti dikutip koran USA Today (12/2/1992), ia anjurkan untuk membawa-bawa bloknot sepanjang waktu. Dengan demikian mereka setiap saat dapat menulis dan mengawetkan hasil observasi dan ide-ide seputarnya, yang sangat bermanfaat bagi pekerjaan atau pun kehidupan pribadinya.
Demikian juga, ritus catat-mencatat itu juga bermanfaat bagi olahragawan. Seorang atlet perempuan peraih medali emas Indonesia pertama kali di arena olimpiade, yakni Olimpiade Barcelona (1992), pebulutangkis Susy Susanti, ia memiliki log (catatan harian) untuk setiap pemain bulutangkis lain yang menjadi lawan mainnya. Utamanya pemain Korea Selatan, Bang Soo Hyun, yang menjadi pesaing beratnya saat itu. Dari log tersebut dia mengetahui kelemahan atau pun kelebihan lawannya, juga memikirkan antisipasi serta solusinya ketika mereka bertempur di lapangan.
Atlet petinju memiliki pendapat serupa. Saya ingat kata-kata seorang mantan petinju kita, Pino Bahari, saat menjadi komentator dalam suatu siaran tinju di televisi. Ia bilang, nasihat atau masukan pelatih untuk petinju di tepian ring hanya berumur beberapa detik saja. Begitu masuk ring untuk melanjutkan ronde sisanya, petinju bersangkutan akan bertarung dengan pola berdasar cetak biru (lama), di mana orang Jawa bilang sebagai gawan bayen, karakter yang sudah menyatu dengan dirinya. Dengan mencatat, seperti halnya Susy Susanti, diri seorang petinju akan mampu mengendapkan gagasan, pikiran, sehingga mampu tampil lebih taktis, lebih rasional, ketika terjun di medan laga.
Artis pop kaliber dunia Taylor Swift juga melakukan ritus yang sama. Dara imut yang tanggal 4 Juni 2014 lalu berkonser di Jakarta, kelahiran 13 Desember 1989 dengan tinggi badan 178 cm ini, sudah menulis lagu sejak berumur 12 tahun. Dia menyebutkan, musiknya tidak lain merupakan buku harian dari hidupnya. Namun menurutnya, “mencipta lagu itu tidak dapat dipaksakan.” Seperti pernah ia katakan bahwa dirinya semata menunggu ilham datang dan segera menangkapnya.
Salah satu sarana terpenting dalam proses penciptaan lagu-lagunya yang hit dan mendunia itu adalah bloknot dan bolpoin yang selalu menemaninya kemana pun pergi. “Keep a notebook and pen handy, however, to capture any brainstorms that hit while you’re out and about,” tutur Taylor Swift.
Kita kembali ke dunia perhumoran. Bagi Anda yang memiliki aspirasi untuk menerjuninya, sebaiknya Anda camkan dan laksanakan perintah “kejam” dari seorang Judy Carter ini. Nasihatnya: bahwa setiap calon komedian harus membawa-bawa bloknot dan bolpoin setiap saat. Bahkan, tandasnya, kedua sarana itu harus selalu berada di dekat bantal tempat tidur mereka. Sehingga ketika sesuatu ide muncul, seaneh apa pun, dirinya harus segera menuliskannya, mencatatnya!
Adalah seorang entrepreneur dan milyarder pemilik kerajaan bisnis Virgin Group, Richard Branson, ke mana-mana dalam perjalanannya semata membawa bloknot dan pena, dan bukan gadget yang canggih. Tentang ide, dia suka mengutip kata-kata sastrawan Victor Hugo (1802-1885) : “Ada satu hal yang lebih perkasa dibandingkan semua tentara di dunia, yaitu gagasan yang hadir tepat pada waktunya.”
Terima kasih, Sir Richard. Tetapi sehebat atau sedahsyat apa pun ide tersebut, tetapi bila tidak tercatat, ide tersebut akan mudah hilang dan menguap begitu saja !
Wonogiri, 11 Juli 2018
Bambang Haryanto adalah penulis, aktivis perpustakaan dan pencinta humor.