Oleh : Ulwan Fahri

Editor : Sandro Gatra

“Pilih Tiririca! Nggak akan lebih parah dari ini, kok!” BEGITU slogan badut dari Brasil, Tiririca, saat mulai terjun ke dunia politik. Modal penghibur bernama asli Francisco Everardo Oliveira Silva itu bisa dibilang minim. Ia bahkan tidak modal janji yang muluk-muluk seperti politikus pada umumnya. Masa, saat mengiklankan dirinya di TV, Tiririca bisa-bisanya bilang, “Apa tugas seorang anggota DPR? Saya tidak tahu sama sekali, tapi pilihlah saya dan saya akan memberi tahu Anda nanti!”? Dia bilang begitu sambil menari-nari dengan kostum badutnya. Baca juga: Donald Trump Ancam Penjarakan Bos Facebook Mark Zuckerberg Dalam materi kampanyenya yang lain, Tiririca mengungkap alasannya maju menjadi anggota DPR adalah membantu orang-orang miskin, terutama keluarganya sendiri. “Kalau Anda tidak memilih saya, saya bisa mati!” ujarnya. Usaha yang bercanda ternyata bisa menghasilkan sesuatu yang riil juga. Tiririca meraup 1,3 juta suara pada Pemilu 2010 dan berhak menjadi anggota DPR pusat mewakili Sao Paulo periode 2011-2015. Itu perolehan suara kedua terbanyak sepanjang sejarah pemilu di Brasil.

Tiririca tidak hanya sekali berhasil ‘menyihir’ publik Brasil. Pada Pemilu 2014, ia kembali terpilih untuk periode 2015-2019, masih konsisten dengan 1 jutaan suara. Di periode 2019-2023, Tiririca bilang tidak mau mencalonkan diri lagi. Katanya, ia malu dengan rekan-rekannya sesama anggota DPR yang diperiksa karena kasus korupsi. Nyatanya, ia terjun lagi dan menang, meskipun perolehan suaranya menurun. Sejujurnya, Tiririca jauh dari gambaran politikus ideal yang punya modal berupa kapital, jejaring elite, dan pendidikan tinggi.

Ia hidup di keluarga miskin, sampai harus bekerja sejak usia enam tahun dan berhenti sekolah umur sembilan tahun untuk menjadi pemain sirkus. Saat pertama kali terpilih sebagai anggota DPR pun baru terungkap kalau Tiririca tidak terlalu lancar membaca. Mencuat kesan bahwa awal mula terpilihnya Tiririca karena masyarakat Brasil muak dengan politikus ‘profesional’ yang mereka punya. Mereka kepincut dengan kampanye Tiririca yang lucu, jauh dari kesan serius, dan mengesankan ‘anti-politik’.

Martins, dalam Comedy and Critical Thought: Laughter as Resistance (2018), menjelaskan kalau image badut yang melekat pada Tiririca memang membantu untuk mencerminkan karakter yang jauh dari sifat-sifat elite. Tiririca menjadi figur yang beda tanpa susah-susah berusaha. Namun, jadinya aneh juga kalau setelah memilihnya, publik sampai berharap lebih kepada sosok penghibur yang banting setir menjadi politikus itu. Kalau tidak ada visi-misi yang dipaparkan, bagaimana publik bisa menagih dan memantau kerja Tiririca? Benar saja, setelah dianalisis oleh Martins, ketiga narasi kampanyenya di awal tulisan ini memang mengandung makna nihilistik, kekosongan belaka. Maka, tidak mengherankan kalau pencalonan Tiririca tidak untuk menyelesaikan masalah publik apa pun.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Mengapa Kita Merias Badut Jadi Politisi?”, Klik untuk baca: https://www.kompas.com/stori/read/2024/08/25/060000879/mengapa-kita-merias-badut-jadi-politisi-.

Editor : Sandro Gatra

Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6
Download aplikasi: https://kmp.im/app6