“Lelucon kepada Kawan”

Ulwan Fahry

Editor Sandro Gatra

TITEL “teman” biasanya jadi izin untuk saling berbagi banyak hal, termasuk humor yang tidak sopan. Sayangnya, tidak belakangan ini.

Tersinggung karena candaan teman makin sering jadi motif pembunuhan. Terakhir, di Jakarta Pusat (10/9/24), SZ (23) menusuk SY (21), seorang pegawai minimarket yang juga mantan rekan kerjanya.

Baca juga: Pegawai Minimarket di Gambir Tewas Ditusuk 7 Kali oleh Eks Rekan Kerja

SZ mengaku sakit hati atas candaan korban yang minta dioral seks. Dari keterangan pelaku, guyonan macam itu sudah sering ia dengar sejak mereka mulai sekantor tiga bulan sebelumnya.

Para peneliti lintas disiplin sebenarnya sudah lama tertarik dan mengkaji faktor apa saja yang membuat humor antarindividu berhasil atau gagal.

Singkatnya, berhasil atau gagalnya candaan antara dua orang bergantung dengan konsep yang dinamakan joking relationship. Istilah tersebut merujuk pada hubungan antarindividu yang bisa saling bercanda tanpa tersinggung, dari yang aman sampai yang “tepi jurang”.

Informasi ”Mixed Bag” Pengambilan Keputusan Artikel Kompas.id Konsep ini mulanya ditemukan para antropolog saat mempelajari interaksi di antara sanak famili dan antarsuku di Afrika.

Hubungan kekerabatan di kelompok masyarakat tradisional umumnya sangat membantu menciptakan jalinan joking relationship (Encyclopedia of Humor Studies, 2014, h.418-421).

Dalam Motivation in Humor (2006, h.10-12), Levine mengutip pendapat sejumlah tokoh bahwa budaya joking relationship di masyarakat tradisional lahir mulanya untuk memfasilitasi kebutuhan primitif manusia.

Pertama, melontarkan candaan yang “offside” bisa menjadi alat untuk mengukur seberapa dekat dan potensial hubungan si pelontar humor dengan orang lain (social bonding). Tawa secara instan mampu memisahkan mana teman dan lawan.

Jika Anda tidak bisa menemukan hal yang bisa ditertawakan bersama, maka prasyarat untuk membentuk hubungan pertemanan lebih susah tercipta.

Joking relationship juga menjadi sarana untuk merilis dorongan seksual tanpa agresi berlebihan. Dengan menormalisasi humor dan keisengan yang menjurus (sexual innuendo), hubungan baik dengan keluarga dan kolega bisa lebih terjaga daripada menyalurkannya secara lebih tidak beradab.

Menariknya, modernitas telah membuat joking relationship menjadi lebih kompleks. Misalnya, di tahun 1934 di Tanzania, Afrika Timur, ada wanita yang menggugat pria dari suku lain.

Wanita itu merasa dianiaya – didorong sampai jatuh ke tanah – di depan umum dan jauh dari daerah tempat mereka tinggal.

Di sisi lain, pelaku mengakui perbuatannya, tetapi ia merasa itu hanyalah candaan yang sering ia lakukan ke wanita tersebut. Singkat cerita, pengadilan memutus pria tersebut telah melakukan kekerasan, walaupun dengan hukuman yang lebih ringan.

Tahu apa pertimbangan yang meringankan?

Adanya histori joking relationship antarpribadi dan antara suku mereka di kampung (Taking Humour Seriously – Palmer, 1993, h.163-4).

Pakem bercanda dengan kawan

Semakin sering berinteraksi, baik antarindividu maupun antarkelompok kecil secara otomatis bakal membentuk budaya dan kebiasaannya sendiri. Budaya dan kebiasaan itu juga meliputi candaannya (joking idioculture).

Nah, untuk sampai terbentuk budaya dan kebiasaan bercanda yang cocok dengan kawan, ada kriteria yang harus dipenuhi: semua orang yang terlibat dalam interaksi humor harus saling mengenal.

Jelas, pelontar humor harus mengenal objek tertawaan berikut audiensnya. Sebab dengan mengenali orang yang hendak ia candai dan hibur, si joker tidak hanya punya bahan yang tepat untuk memicu tawa, tetapi juga kartu AS untuk kabur dari tuduhan yang lebih serius (De Gruyter Handbook of Humor Studies, 2024, h.528-9).

Hal yang sama pun berlaku sebaliknya. Target humor dan audiens perlu memahami bahwa orang di depannya punya kebiasaan bercanda dan usil, sehingga mereka bisa bersiap dan berada dalam mode bermain (play mode).

Kalau tidak, candaan soal selangkangan, toilet, bahkan kepercayaan orang akan terus menelan korban.

Informasi ”Mixed Bag” Pengambilan Keputusan Artikel Kompas.id Pakem lain yang relevan untuk mengukur apakah joking idioculture sudah terbentuk adalah ketika lawan bicara si joker bisa merespons dengan candaan lain.

Joking idioculture membutuhkan hubungan yang asimetris. Artinya, harus ada orang yang lebih rendah agar bisa ditertawakan oleh lainnya.

Namun, target tertawaan ini harusnya dinamis. Tidak sehat namanya kalau Anda terus yang menertawakan teman Anda — atau sebaliknya. Kalau itu yang terjadi, maka yang terjadi adalah perundungan (bullying).

Karena dunia ini sudah terlalu berat untuk dihadapi sendirian, kawan seharusnya bisa menjadi sandaran. Apalagi kala “Berita pada Kawan-nya” Ebiet G. Ade mulai terlantun, seringkali yang kita butuhkan hanyalah kawan yang mau mendengar dan berbagi lelucon.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Lelucon kepada Kawan”, Klik untuk baca: https://www.kompas.com/tren/read/2024/10/23/124522865/lelucon-kepada-kawan?page=2.

Editor : Sandro Gatra

Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6
Download aplikasi: https://kmp.im/app6

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Lelucon kepada Kawan”, Klik untuk baca: https://www.kompas.com/tren/read/2024/10/23/124522865/lelucon-kepada-kawan.

Editor : Sandro Gatra

Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6
Download aplikasi: https://kmp.im/app6

Copyrights 2019 | IHIK