https://www.suaramerdeka.com/hiburan/pr-042245528/indonesia-darurat-humor-ini-kata-para-komedian-senior
Setiawan Hendra Kelana
JAKARTA, suaramerdeka.com – Menutup akhir tahun 2021, Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) dan Humoria.id menginisiasi sebuah kegiatan untuk menyadarkan kembali banyak pihak terkait kondisi emosional bangsa ini yang sedang tidak stabil.
Bagaimana tidak, setiap hari kita disuguhi oleh ‘parade kemarahan’ serta ‘festival hujatan’.
Menariknya, beberapa tensi tinggi itu konon dipercaya berasal dari produk humor.
Sebagai elemen anak bangsa, penyelenggara merasa penting untuk segera melakukan sesuatu agar masyarakat luas mendapatkan alternatif pemikiran dan bukan hanya dijebak dalam kondisi yang penuh dengan aura negatif.
Sarasehan “Indonesia Darurat Humor?” menjadi buah keresahan dari IHIK3 dan Humoria.id, dua lembaga yang sama-sama memiliki misi untuk menyebarkan humor di Tanah Air, merasa Indonesia memang butuh alternatif pemikiran untuk mempertebal imun tubuh.
Ini penting untuk menghadapi pandemi yang seolah tak mau pergi dan amarah atau ketersinggungan yang makin menjadi-jadi.
Maman Suherman (duta literasi dan advisor IHIK3), Dedy ‘Miing’ Gumelar (pelawak grup Bagito), dan Pandji Pragiwaksono (pelawak tunggal) hadir memberikan pandangannya terkait tema tersebut di atas.
Komika harus bisa mempertanggungjawabkan apa yang sudah ia sampaikan.
Namun, ketika si pelawak sudah berhati-hati tetapi tetap tersandung oleh kasus ketersinggungan, maka masalahnya seharusnya bukan semata-mata berasal dari pelawak tersebut.
Pandji berargumen hampir semua kasus ketersinggungan yang terjadi di Indonesia dasarnya justru karena rasa cinta seseorang dan keinginan terafiliasi dengan entitas yang mereka cintai.
Menurutnya, ketika pelawak menyinggung suatu kalangan karena lawakannya, itu bukan masalah si pelawak, melainkan masalah internal kalangan itu sendiri.
“Melebihi dari bangsa lainnya, kita itu bangsa yang sangat komunal, suka berkomunitas. Dan kalau kita pikir baik-baik, skillset terpenting dalam menjadi bagian dari komunitas adalah untuk diterima oleh komunitas tersebut. Nah, karena ingin diterima oleh komunitasnya, maka banyak orang yang akan ikut meramaikan ketika komunitasnya ‘disentuh’ oleh orang lain,” ujar dia.
Dedy juga beranggapan para pelawak tidak perlu takut melawak dan diganjal pasal pencemaran atau penghinaan nama baik karena sifat pasal tersebut hanyalah delik aduan.
Selama pelawak sudah melewati tahapan-tahapan memotret fenomena yang benar-benar ada di masyarakat, merisetnya dengan seksama, dan mengemasnya menjadi bahan komedi yang cantik, kemungkinan besar lawakannya bakal aman dan bisa diterima banyak kalangan.
“Ketika ada peristiwa antara Bagito dengan Gus Dur tahun 2000, Gus Dur-nya sendiri bilang ke saya, ‘Saya enggak masalah’. Selama yang menjadi objek tidak masalah, tidak boleh orang ketiga melaporkan dan polisi tidak bisa menerima laporan itu, karena sifatnya bukan delik umum,” paparnya.
Menurut Dedy, jika benar diamini oleh masyarakat Indonesia terkait bangsa ini sedang mengalami darurat humor, maka perlu kerja sama dari berbagai pihak untuk membuat status ini menjadi ‘aman’ kembali.
“Justru darurat humor ini harus dibebaskan dengan cara-cara yang sehat. Untuk itu, saya ingin mengimbau kepada televisi dan pemangku kepentingan lain, tampilkan dong humor–humor yang sehat, bukan hanya yang tertawa dan saling meledek. Kami, sebagai orang-orang yang sudah banyak menghabiskan waktu di rumah bersama anak dan cucu, ingin juga mendapat hiburan komedi yang menyehatkan publik,” imbuhnya.
Pemikiran Maman juga tak kalah menarik. Ia mendorong agar pelawak menitikberatkan riset sebelum berkelakar.
“Komedian seperti Russel Peters menggunakan kedalaman pada bahan lawakannya. Kemampuan riset, kemampuan mendapatkan data yang orang lain tidak tahu, itu menjadi kunci dalam humor. Saya beberapa kali mau tertawa tapi tidak jadi, ketika ada komedian menertawai KPI. ‘Kok KPI dikit-dikit main sensor?’ katanya. Berarti dia enggak punya data, karena KPI bukan lembaga sensor film,” paparnya.