Menjelang awal April, terkilas suatu pemberitaan di layar TV bahwa pada tanggal sekian bulan April akan diluncurkan sebuah communication satellite dari Jatiluhur. Dan peluncuran satelit ini akan memungkinkan rakyat Indonesia untuk mengirim dan menangkap berita langsung dari dan ke benua Amerika atau Eropa.

Anak saja yang masih duduk di kelas 6 SD—yang suka membaca komik tentang luar angkasa—tergopoh-gopoh menghampiri saya menyampaikan berita yang menggemparkan ini.

Perasaan heran melintas di pikiran saya. Tetapi kemudian setelah ingat bahwa sebentar lagi akan tiba bulan April, saya lalu menjawab:

“Ah, itu kan April Mop!”

Tanda tanya tampak jelas muncul dalam mata anak saya!

“Nah, April Mop adalah suatu lelucon yang dilancarkan pada tanggal 1 April untuk menipu orang lain. Dan oleh karena itu sudah menjadi kebiasaan orang Belanda, maka orang lain yang kena tipu itu tidak boleh marah, sebab dia pun boleh berbuat yang sama terhadap orang lain.”

Dulu, di zaman Belanda, saya ingat pernah disiarkan oleh suatu harian bahwa pada hari Sabtu mendatang (orang tidak ingat bahwa hari Sabtu mendatang itu 1 April) bintang film Elizabeth Taylor akan datang ke Kemayoran Airport dalam perjalanannya ke Bali, di mana rombongan perfilman dari Hollywood itu akan mengadakan syuting untuk salah satu filmnya yang sedang diproduksi.

Ribuan orang datang ke Kemayoran untuk menanti kedatangan bintang film yang agung itu. Tibalah sebuah kapal udara besar dari maskapai penerbangan asing, semua penumpang keluar. Akan tetapi, tidak ada bintang film segelintir pun muncul dari pintu pesawat. Maka suasana gembira ria berubah menjadi gelisah. Tiba-tiba ada yang berkata:

“Ah… April Mop ini!”

Riuh ramai sambutan, perasaan jengkel campur ucapan cacian, makian, tawa, dan akhirnya pulang dengan berbagai reaksi.

Beberapa hari lewat dan ternyata berita TV itu tidaklah disiarkan sebagai April Mop.

Direktur Utama Telkom Sabar Sudiman turun tangan dan memberi penjelasan di TV bahwa apa yang akan dibuka adalah sebuah ground station yang akan mampu menangkap berita atau menyiarkan berita lewat satelit komunikasi (made in USA) atas dasar perjanjian dan langganan yang harus dibayar dengan ping-ping.

Empat hari kemudian, saya ketemu Dirut Telkom di kantornya.

“Kapan, kan, satelitnya diluncurkan?”

“Mulai Agustus sudah dapat call langsung ke Eropa lewat satelit.”

“Bikinan Indonesia?”

(Ketawa lebar sebagai jawaban.)

Dalam tahun 1963 atau 1964, tersiar berita—yang dikutip oleh ABC Australia, BBC London, dan VOA Amerika—bahwa tahun berikutnya Indonesia akan mempunyai bom atom.

Berita ini benar, sebagai berita! Dan oleh karena benar, sampai dikutip oleh siaran-siaran radio di luar negeri. Yang penting untuk blok Barat waktu itu ialah bukan karena mereka tidak percaya akan kemampuan Indonesia untuk meledakkan bom atom. Negara-negara dalam atomic club—Amerika, Rusia, Inggris, kemudian disusul oleh Prancis dan RRT—mengkhawatirkan sejauh mana negara-negara di dunia ini telah mengembangkan kemampuannya untuk membikin bom atom.

Untuk itu, mereka mempunyai satelit mata-mata, dan Amerika memiliki V2 yang mengintai dari angkasa apa yang dilakukan oleh tiap-tiap negara dalam pembangunan instalasi nuklir. Dan dalam penilaian mereka, Indonesia masih jauh dari kemampuan yang seperti itu, bahkan untuk meluncurkan satelit atau roket tanpa atomic warhead sekalipun akan belum bisa tahun ini.

Akan tetapi, yang membikin gempar sebenarnya ialah, jangan-jangan RRT akan memberikan bingkisan atom kepada Indonesia sebagai sumbangan. Kalau hal ini terjadi, maka benarlah Indonesia telah menjadi komunis dan berada dalam blok komunis, bukan lagi menganut politik bebas aktif, non-blok, non-aligned, non-committed, atau apa istilahnya lagi.

Gemparlah negara-negara tetangga seperti Australia. Habis, kalau mempunyai tetangga komunis dengan rakyat 100 juta, berabe betul! Setelah Irian Barat, jangan-jangan Irian Timur dan seterusnya. Berapa jauhnya Darwin dari Timor?

Kedua berita ini menggambarkan dua masalah pemberitaan. Masalah berita kosong dan masalah berita bohong.

Bagaimana sikap wartawan terhadap berita kosong? Jika dalam kantor redaksi ada redaktur yang pintar, dan dia mempunyai koresponden seorang ahli nuclear physicist, maka dia akan menelepon kepada dokter atom ini. Terjadilah percakapan sebagai berikut:

“Ah, dokter, saya mendapat berita bahwa Indonesia tahun depan akan melakukan percobaan bom atom. Apakah ini benar?”

“Yang benar saja. Belinya dari mana?”

“Nggak tahu, tetapi berita ini telah saya cek, dan memang benar!”

“Kalau memang betul demikian, itu bukan bom ‘made in Indonesia’!”

“Oke deh. Terima kasih, Dok.”

Kalau Indonesia ini memang sebuah open society atau bercita-cita menjadi open society, maka tidaklah boleh suatu berita dirahasiakan, kecuali bila penyiarannya benar-benar menyangkut kepentingan nasional.

Marilah kita dengar sebuah percakapan lagi yang mungkin dapat terjadi antara pemimpin redaksi New York Herald Tribune dengan Kepala Bagian Public Relations dari Pentagon.

Jim Craig (Herald Tribune) menelepon Jenderal Sutton (Pentagon):

“Jenderal, saya baru saja mendapat berita bahwa sebuah bom dengan atomic warhead-nya hilang di daerah perairan Spanyol. Bisakah saya menyiarkan berita itu?”

“Tunggu sebentar, ya,” jawab Jenderal Sutton, “Saya akan membicarakan dulu dengan atasan saya untuk minta izin.”

Akhirnya toh diketahui juga, pikir Sutton. Ini yang ditakutkan, sebab dia sudah mendengarnya satu jam sebelumnya dan khawatir berapa cepat hal ini akan diketahui oleh pers. Sutton lalu berkata lagi di telepon:

“Telepon lagi saya sejam kemudian.”

“Tetapi, Jenderal, deadline untuk koran kami sisa 3/4 jam lagi. Bila saya tidak menerima keterangan lagi dari Anda, saya akan menyiarkan berita itu.”

“Tapi… Jim…”

Jenderal Sutton mengenal Craig sudah lama, dan mereka adalah sahabat karib. Dia tahu juga bahwa Craig menguasai opini publik dari 10 juta orang Amerika.

“Jenderal, rakyat Amerika berhak untuk mengetahui hal itu. Apa yang dilakukan oleh pemerintah dengan bom atom? Apakah Anda ingin publik mendengar berita ini dari pihak sana?”

Yang dimaksudkan “pihak sana” ialah Tass, kantor berita pemerintah Rusia yang mendapat prioritas pertama dari semua sumber berita pemerintah Rusia, termasuk intelligence. Tass mengetahui route dari Strategic Air Command dan tahu bahwa kapal terbang yang kehilangan bom itu sedang melakukan penerbangan rutin di Eropa Selatan.

New York Herald Tribune akan malu bila Tass lebih dahulu melancarkan berita dan mesti akan mengejek bahwa New york Herald Tribune dan Amerika pada umumnya dibungkam oleh pemerintah federal. Sedang pada saat itu satu rombongan tim pencari telah berangkat ke suatu desa kecil di pantai Spanyol. Demikian pula beberapa kapal selam telah diberi tugas yang sama. Masakan berita ini akan dapat dirahasiakan berapa lama?

Tepat saat terakhir pers akan jalan, beritanya dimasukkan. Dan Jenderal Sutton tidak dapat berbuat apa-apa karena dia sendiri juga warga negara Amerika yang menghormati kebebasan pers. Adalah lebih baik berita itu disiarkan lebih dahulu oleh koran Amerika daripada oleh Tass atau Pravda.

Bagaimana dengan soal kabar bohong?

Kabar yang disiarkan tanpa ada dasar kenyataan adalah kabar bohong. Mungkin disebabkan oleh kesalahan penangkapan dalam press interview, kekeliruan dalam membaca hingga beritanya berbeda dari isi press release atau kenyataan.

Bahwa berita tentang peluncuran satelit dari Jatiluhur ini disiarkan oleh TVRI, suatu medium komunikasi pemerintah, adalah jaminan bahwa berita itu benar. Ya, seharusnya demikian!

Lagipula hal ini menyangkut kegiatan dari Dirjen POSTEL yang sedikit banyaknya ada hubungan dengan mass media pemerintah. yang dalam pimpinan badan-badan telekomunikasi ini adalah orang-orang pandai yang bertanggung jawab.

Menimbang-nimbang faktor-faktor ini semua, kita yakin bahwa berita itu adalah sebuah April Mop. Sialnya, berita itu bukan pula April Mop. Karena itu, marilah sebut saja berita itu:

“April Mop yang bukan April Mop.”

Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Jabar, no. 154, tahun 4, Minggu ke-4, 25 Mei 1969, hal 7.

Oleh: Dr. R. M. Soelarko