Pameran Kartun
Karya Augustin Sibarani
di Perpustakaan Nasional, Jakarta
tgl 15 September 2014, pukul 09.30 WIB
Seminar Kartun:
Hitam Putih Indonesia
dalam goresan Sibarani
16 September 2014
pukul; 09.00 – 12.00 wib
Pembicara:
Sanggam Sibarani (putera Augustin Sibarani)
Pramono (empu Kartun Indonesia)
Jaya Suprana (pendekar super sakti)
WorkShop Editorial Kartun oleh:
Joko Luwarso
Sudi Purwono Baru (Non_O)
Jan Praba
17 September 2014
pukul; 09.00- 12-00 wib
G R A T I I I S S S S S S ……….
Registerasi:
Terry – 0812 9496 909
Arief Wicaksono – 0813 1161 0001
email: arief_wicaksono@pnri.go.id
Perpustakaan Nasional RI
Jl. Salemba Raya 28A, Jakarta Pusat
021 3917009
Tanggal 25 Oktober 2008 lalu, kartunis kawakan Augustin Sibarani resmi mendapat anugerah maestro yang diberikan oleh Museum Kartun Indonesia Bali. Bagi peminat kartun berusia muda banyak yang bertanya-tanya, siapa itu Sibarani sehingga namanya tiba-tiba saja muncul dan mendapatkan anugerah yang luar biasa bergengsi: maestro. Gelar yang bukan main-main. Seperti sebuah proses stilisasi yang mencapai puncak, mencapai titik kesempurnaan; padahal, kalangan muda itu belum habis mengerti dan terjawab pertanyaannya, siapa gerangan Augustin Sibarani itu?
Secara singkat dapat dijelaskan, kartunis asal Pematangsiantar, Sumatera Utara ini lahir pada tahun 1925. Selebihnya dapat kita simak sebagaimana dijelaskan oleh kartunis Priyanto Sunarto berikut ini: Masa kecilnya dilalui di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Kemudian masih pada zaman Belanda masuk sekolah pertanian Bogor, dan semula ia bekerja sebagai pegawai pertanian (sebagai sinder perkebunan karet di Merbuh, Boja, Kendal, Jawa Tengah dan di perkebunan karet di Jawa Timur – dms). Setelah gambarnya mulai menjanjikan masa depan lebih baik, ia memusatkan perhatian pada kartun dan karikatur. Dia juga menulis artikel tentang karikatur di koran. Karikaturis politik yang menonjol masa itu selain Sibarani, antara lain Ramelan di Suluh Indonesia dan S. Soeharto (bukan presiden) di Indonesia Raya. Dan rata-rata kartunis masa itu memang lebih berani, terbuka dan tajam dibanding pada masa matangnya Orde Baru.
Sejak tahun 1955 Sibarani mulai menjadi karikatuis tetap di koran Bintang Timur yang berhaluan kiri, hingga koran tersebut ditutup tahun 1965. Di koran itulah makin menonjol kepiawaiannya dalam gambar sindir karikatur. Meskipun Bintang Timur berhaluan kiri, karikaturnya tak menunjukkan ciri realisme sosialis dogmatis seperti pada koran Harian Rakjat yang juga sangat kiri. Karikatur Sibarani lebih nakal, liar dan lincah bermain metafora: Kuda Troya, nenek sihir, penjinak cobra, kartun babi Disney dan berbagai ungkapan masyarakat global lain. Karikaturnya membuat Bintang Timur jadi terlihat cerdas dalam berungkap.
Karena perubahan iklim politik, pada masa Orde Baru Sibarani tak mendapat tempat di media massa. Baru sekitar tahun 1998 ia membuat karikatur lagi yang disebarkan “di bawah tangan” melalui fotokopi di kalangan teman baik di Indonesia, di Perancis dan Amerika. Begitu Orde Baru jatuh barulah ia dapat bernafas lagi menerbitkan bukunya “Karikatur dan Politik” (2001). Dalam buku itu dimuat pula karikatur bawah tanahnya. Kadang ia masih membuat karikatur di majalah Pantau (ketika masih berkantor di Utan Kayu, Jakarta-dms), dan menyelenggarakan pameran lukisan.
Demikianlah riwayat singkat Augustin Sibarani, tokoh Tapianauli yang berhasil menjadi karikaturis terkemuka di negeri ini…
Sementara itu, kartunis GM Sudarta berpendapat: SRANI, adalah tanda-tangan suatu kartun di sebuah surat kabar yang saya ketahui pertama kali di tahun 65-an, setiba saya di Jakarta. Waktu itu, yang sangat menarik bagi saya adalah garis yang kuat dengan ide komentar peristiwa yang terjadi dengan lugas tanpa basa-basi. Kritiknya tajam dan kadang sangat menusuk jantung saya. Seperti misalnya dalam sebuah risalah yang ditulis oleh Ben Anderson di sebuah penerbitan, di mana di situ dimuat kartun Srani, yang menggambarkan Amerika menyedot Indonesia, kemudian pejabat Indonesia menyedot tinja yang dikeluarkan Amerika dan rakyat kecil menyedot tinja yang dikeluarkan oleh pejabat.
Baru kemudian saya mengenal ia adalah Augustin Sibarani, setelah saya mulai bekerja di koran, menjadi ilustrator dan kartunis. Karya-karyanya yang masih muncul, bertubi-tubi menggedor hati saya, sehingga ada pergolakan batin saya dalam tahun-tahun berikutnya setelah saya mulai benar-benar menjadi kartunis. Terutama setelah menginjak masa-masa Orde Baru, di mana polusi serba berbau G30S, masih manguasai negara kita.
Suatu peristiwa yang membuat saya gerah dengan keadaan, adalah ketika saya mulai terjun di PWI, Persatuan Wartawan Indonesia, seksi karikatur. Dalam suatu acara pameran kartun saya ingin mengajak beliau untuk berperan serta, tetapi dilarang oleh Menteri Penerangan pada waktu itu, dengan alasan tidak jelas.
Dalam pemeran kartun yang diselenggarakannya sendiri di Balai Budaya, Jakarta, di tahun 70-an, kami, kaum kartunis sangat mendukung. Ia juga pernah berpameran lukisan yang fenomenal di tempat yang sama. Semua lukisan tak lepas dari kritik sosial. Beberapa karikatur dan lukisannya kini tersimpan sebagai koleksi surat kabar Kompas.
Di masa Orde Soeharto itu, memang kondisi dan situasi kehidupan pers sangat berubah. Karya-karya yang lugas, tajam, seperti karyanya yang telah menguasai kekaguman saya, sangatlah sulit saya terapkan. Kita maklum akan adanya SIUPP, SIT dan pembreidelan koran. Sehingga mungkin apa yang dinamakan kartun “Indonesian Style”, menjadi semacam apologia saya dalam menyampaikan kritik lewat kartun. Dan kemudian pula, Ben Anderson mengatakan bahwa kartun saya kritik lewat lucu-lucuan.
Memang! Meskipun demikian, karya Sibarani yang muncul di luar negeri atau pernah di majalah SWA pimpinan Arwah Setiawan, tetaplah seperti semula, tajam dan lugas, dengan humor yang lebih mengesankan tragis. Sikap berpendiran teguh seperti batu karang dalam karya-karya yang menyoroti kebobrokan Orde Baru, tanpa tedeng aling-aling manggambarkan Soeharto dan para pejabat serta kroninya, adalah yang kemdian Ben Anderson menyebutnya pula sebagai kartunis “single fighter” di tengah dunia basa-basi Indonesia. Augustin Sibarani, memang maestro sejati!
Pramono R. Pramoedjo salah seorang kartunis seangkatan GM Sudarta, Priyanto Sunarto, juga memiliki pendapat tentang kartunis Sibarani. Pramono berpendapat: Sebenarnya saya tidak begitu mengenal Augustin Sibarani secara pribadi; kecuali, mengenalnya sebagai seorang karikaturis kawakan yang sudah berkiprah dan malang melintang di bidang karikatur sejak zaman Bung Karno, presiden pertama negeri ini.
Para karikaturis yang kemudian “lahir” sejak era pemerintahan Presiden Soeharto, termasuk saya, yang merasa memiliki gaya penggambaran kartun dan cara menyampaikan pesan yang agak berbeda, berhasil tumbuh dan selamat (…atau menyelematkan diri dari “mata elang” pemerintah saat itu yang membatasi kebebasan mengemukakan pendapat) sampai sekarang, tidak begitu berusaha menyimak gaya karikatur Sibarani tersebut. Apalagi kemudian ia kena breidel pemerintah; tidak boleh lagi membuat karikatur untuk dimuat di media massa Indonesia. Cap yang dikenakan padanya konon ia seorang komunis; menyerahkah Sibarani pada vonis tersebut? Tidak. Ia berganti kegiatan dan menekuni kembali kemampuannya melukis. Saya juga tidak tahu apakah ia juga diam-diam membuat karikatur meski disimpan untuk koleksi pribadinya.
Pertemuan dengan Sibarani yang agak mengesankan adalah ketika ia datang ke Redaksi Suara Pembaruan tahun 1980-an dengan membawa buku Sisingamangaraja karangannya. Ia memberi pesan agar terus berkarya dan berjuang melawan ketidakbenaran melalui media karikatur.
Pertemuan kedua adalah ketika ia dating ke pameran tunggal karikatur karya saya di Taman Ismail Marzuki, bulan Mei 2007, meski saya lupa mengundangnya. Tetapi justru ia ikut memberi sambutan dengan bersemangat. Ketika beranjak pulang dari ruang pameran yang dijejali dengan 250 karya karikatur, ia dengan didampingi Gorky, anaknya, sempat mengacungi jempol dan mengatakan, “Cukup berani, teruskan!”
Pertemuan ketiga, bulan Juni 2008 yang lalu, di rumah tinggalnya di kompleks perumahan bilangan Jalan Fatmawati, ia berseru, “Ah, Pramono!” sambutnya sambil merangkul akrab. Ia sudah kelihatan sangat sepuh. Jalan pun dengan susah payah; untung segera dituntun Gorky untuk duduk di kursinya. Tidak lagi terlihat seorang Sibarani yang berjalan dengan gagah dengan memakai baret merah di kepalanya. Tetapi sorot matanya masih setajam dulu. Ia mencoba bicara, tetapi sudah sangat lemah. Melalui Gorky, penerjemah suaranya, ia mengatakan bahwa yang ditinggali sekarang pun bukan rumahnya. Tetapi ia tetap konsisten sebagai karikaturis. Ia “bergerilya” mengirim karikaturnya ke luar negeri; mengkritik tajam pemimpin Indonesia yang menyelewengkan kekuasaan dan jabatannya.
Dari namanya orang sudah tahu bahwa ia seorang putera Batak. Maka tak heran bila kita melihat karyanya, akan terkesan keras, lugas, dan pesan yang ingin disampaikannya pun sangat langsung menohok ke masalah dan sekaligus menuding ke tokoh-tokoh di belakang masalah tersebut. Langsung, verbal, dan saya tidak merasakan ada humornya sama sekali. Tetapi memang itulah ciri khasnya; gayanya!
Demikian pandangan tiga orang kartunis senior Indonesia atas kiprah dan sikap kesenian kartunis Sibarani yang menurut penuturannya sendiri pernah berkali-kali dibujuk untuk dijanjikan hidup enak di negeri Paman Sam dan semua karya lukisnya akan dibeli mahal oleh orang-orang utusan Amerika Serikat asalkan dia mau berhenti membuat karikatur. Berhenti menggambar karikatur! Tetapi Sibarani menolak bujuk rayu itu.
Satu hal yang orang jarang tahu, di kampung halamannya, Siantar, di masa kecil Sibarani (1930-an) ternyata ia anak orang yang sangat berada. Sedikitnya, secara kehormatan maupun kekayaan berada di lapis kedua setelah Raja Siantar dan Raja Simalungun.
Ada yang berteori setengah bercanda kaitannya dengan stigma komunis yang pernah diterimanya, mana mungkin orang berlatar belakang borjuis-elitis lalu dengan mudah berubah menjadi beringas dan menjadi penganut realisme sosialis dogmatis. Tetapi begitulah, sejarah hidup Augustin Sibarani mungkin harus terjadi seperti yang selama ini dialaminya. Seperti komedian Charlie Chaplin yang pada suatu ketika diburu-buru dan akhirnya “diusir” dari Amerika karena stigma komunis, tetapi pada ketika yang lain, ia diburu-buru juga untuk diajak pulang ke Amerika; bukan untuk diadili dan dipenajara; tetapi justru untuk diberi penghargaan!
Darminto M. Sudarmo, Penulis dan pengamat humor.