wendo foto

Chumor2016

Humor Geerhana: Tertawa tanpa Menciptakan Korban

Catatan: Arswendo Atmowiloto

Sesungguhnya , sekarang ini setiap orang bisa menciptakan humor, menyebarkan, dan sekaligus juga menjadi bahan ledekan.

Sekarang ini atau dulu di awal tahun 70an ketika kegiatan humor bersemi dengan ditandai lahirnya Lembaga Humor Indonesia, LHI, sama saja nasib dunia humor. Perlu orang yang cerdas untuk menciptakan, perlu orang banyak untuk mentertawakan, dan perlu orang tertentu untuk menjadi bahan humor. Duluuu sekali, biasanya tokoh pembantu yang menjadi obyek yang ditertawakan. Bahkan demikian juga dalam kisah wayang purwa, hadirnya tokoh Panakawan. Sampai dengan model lawak Srimulat keberadaan pembantu, atau jongos ditegaskan kadang sebagai pembuka acara, dengan kain lap di pundaknya. Tokoh Sentilun yang dimainkan komedian Butet Kartaredjasa dalam “Sentilan-Sentilan”, masih mengenakan identitas itu.

Kalau mau dibedakan, orang yang menjadi bahan humor, menjadi obyek, tak harus dalam kostum sebagai pelayan, sebagai jongos, sebagai batur, sebagai kasta pidak pedarakan. Orang dengan kelas sosial yang paling tersisih di antara yang tercecer. Kini obyek itu bisa berseragam wakil rakyat, atau dalam sosok menteri, wakil atau bahkan presiden. Bisa pula situasi dan kondisi tertentu, peristiwa yang sedang hangat. Pemilihan materi humor pada situasi dan kondisi dan atau situasi tertentu ini, merupakan jenis yang baru, lucu, dan kadang juga haru.

Karena di daerah terjadi ketidak-adilan dalam menyaksikan Gerhana Matahari total 2016, mohon kiranya gerhana tersebut diulang. Jenis ini tetap mengandung unsur mengejutkan, yang merupakan syarat terjadinya humor, menurut Pak Teguh Srimulat, yaitu permintaan agar gerhana matahari total, GMT, bisa diulang. Sesuatu yang sangat tidak mungkin, karena gerhana matahari total bukanlah pilkada atau pemilu di daerah tertentu. Dan memang terkait dengan kejadian sebenarnya soal pilkada yang di beberapa tempat diulang. Kekesalan, rasa kurang puas pada penyelenggaraan pilkada, yang tak selalu tertuju pada penyelenggara atau calon yang dipilih, atau Negara sekalipun, tersampaikan ketika ada peristiwa GMT. Saraf tawa kita tergetar mana kala kejutan dari yang tak mungkin sempat menumbuhkan kepekaan untuk menangkap materi tersebut menjadi sesuatu yang lucu.

Zaman Presiden Soeharto ada Gerhana Matahari Total. Juga di era Presiden Jokowi. Lalu presiden-presiden yang lain ngapaian saja selama ini? Jenis ini menurut saya (orang lain tak usah menurut tak apa) adalah jenis yang “86”, jenis yang aman, tidak mem-bully, tidak juga mengorbankan atau menyudutkan seseorang atau banyak orang, tidak juga menjelek-jelekkan situasi tertentu. Tidak juga mengunggulkan Presiden Soeharto dan Presiden Jokowi atas presiden yang lain, karena memang GMT tak ada hubungannya dengan kuasa presiden mana pun.

Dan kalau jenis ini, jenis yang “aman tanpa makan korban”, yang “nggeguyu tanpa ngasorake”, yang aman—yang dalam bahasa anak gaul disebut chill, tak ada apa-apa, tanpa cedera yang lebih berkembang, benar-benar pencerahan baru tengah terjadi. Terutama karena memang itu yang kini menyambar dalam bentuk viral, yang terumbar melalui media super ajaib, yaitu media sosial. Peran media sosial yang sungguh ajaib, kalau dibandingkan media-media sebelumnya. Dalam dan melalui media sosiallah yang memberikan “sama rasa, sama rata”, bagi semua penggunanya. Tak ada lagi sekat penulis-redaktur-pembaca, tak ada pemisahan profesi apapun yang terbedakan, yang kesemuanya memungkinkan siapapun menuliskan humor—atau dihumorkan, atau di-bully, atau mem, atau memperbanyak, atau menyebarluaskan. Dan sebarannya bisa lebih mentajubkan lagi. Besarannya bisa menggapai sampai jutaan pengguna dalam sekejap, bisa menjadi trending topic, yang termasuk daftar paling dicari, paling dilihat.

Jenis humor viral ini sudah dimulai jauh sebelumnya dan mencapai puncak-puncaknya ketika tema Haji Lulung muncul. Haji Lulung ingin naik kereta api, gerbong yang menyemput ke rumahnya. Yang memunculkan berbagai varian lain yang sungguh luar biasa lucu, mencengangkan, dan tetap bisa chill. Bahkan sebenarnya varian ala Menteri Susi banyak berkoar menenggelamkan kapal asing, Ical tanpa banyak ngomong menenggelamkan banyak desa dengan lumpur Lapindo. Dan terus menerus berkembang, karena setiap orang yang menggunakan media sosial, bisa menjadi peserta aktif dengan meng-like, meng-rt, mengutip dan memberi komentar.

Dalam keberadaan seperti inilah humor viral lahir, berkembang, dan dikutip oleh media-media yang selama ini sudah dikenal, dan terus berkomunikasi dengan dinamika besar yang dimiliki. Bersamaan juga dengan dunia media sosial yang penuh informasi, penuh caci maki, penuh ludah dan lidah, humor jenis ” Gerhana yang gerr tanpa perlu ada yang dikorbankan”, tanpa harus ada korban tertentu dan tetap gerrr, menawarkan sesuatu yang tetap berharga, ketika kebebasan menjadi segalanya.

*) catatan diskusi “Humor Masa Kini”, di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, 11 Maret 2016, bersama Miing Bagito dan Jaya Suprana.

 

Leave a Reply