“Mata saya yang sipit ini mengajarkan bahwa orang Cina itu rendah hati, tidak pernah memandang sebelah mata. Pakai dua mata saja susah, apalagi cuma sebelah?” – Ernest Prakasa (Dari Merem ke Melek, 2013, h.3)

Tidak pernahkah terbesit dalam pikiran Anda, mengapa kini stand-up comedian dari beragam etnis bermunculan secara masif di Indonesia? Dari etnis Tionghoa, hingga Arab dan suku bangsa lainnya dari Indonesia Timur, sudah menyumbangkan wakil untuk berbicara di panggung komedi. Acapkali, mereka mengangkat plus mengolah isu ras sebagai sajian humor mereka, yang tak bisa dipungkiri merupakan olahan dari komedi yang amat kompleks dan berisiko.

Ketika pembahasan tentang ras atau suku bangsa masih cukup tabu di sini dan terkadang juga berbahaya, menyampaikan jokes tentang ras pun jelas memiliki risiko yang lebih tinggi dari itu. Sebab, bukan tidak mungkin audience merasa tersinggung atau si penutur lelucon tersebut dianggap rasis karena melecehkan serta merendahkan kelompok tertentu.

Namun, Goltz (2017, h.205) berargumen bahwa sejatinya ada kalangan komedian yang punya “bakat alam”, sehingga cakap meramu sekaligus menghidangkan racial humor dengan potensi risiko lebih rendah. “Leave the race jokes to persons of color,” katanya. Ia beranggapan bahwa etnis “kelas dua” punya hak istimewa dalam membawakan humor rasial, terlebih yang berkaitan dengan dirinya.

Dalam konteks komedi kesukubangsaan di Amerika Serikat seperti dijelaskan lebih lanjut oleh Goltz (2017), Dick Gregory adalah salah satu maestronya. Komika Afro-American tersebut bisa menapaki jalur mainstream dan diterima di kalangan penonton kulit hitam maupun putih. Ia dikenal sebagai kreator jokes getir tentang stereotipe dan diskriminasi kaum kulit hitam. Berkatnya, jadi muncul pula komedian kulit hitam ber-DNA serupa macam Richard Pryor, Bill Cosby, Chris Rock, dan Kevin Hart.

“If it wasn’t for Abe Lincoln, I’d still be on the open market.” – Dick Gregory (From The Back of the Bus, 1966, h.7)

Akan tetapi, humor ras telah membuat komedian terdikotomi. Komika dari kalangan marginal atau non-kulit putih di AS, misalnya, seperti memiliki “hak khusus” untuk menyuarakan hal-hal sumbang lewat racial humor tanpa kontroversi berlebih. Mereka, yang di kehidupan sehari-hari mungkin terdiskriminasi, seakan punya keuntungan sendiri karena bisa nyaman di industri ini berkat mengolah pedasnya hidup mereka menjadi materi komedi, tanpa bisa “diganggu” comic kulit putih. Sementara komedian kulit putih seperti dipersilakan berbicara tentang apa pun, kecuali hal-hal yang berkaitan dengan ras.

Polaritas ini sayangnya terlalu disederhanakan dan berbahaya. Pasalnya, hal ini amat mungkin menjadi bumerang dalam perkembangan komedi, karena sejatinya, comic kulit putih – atau dalam konteks Indonesia semacam komika dari kalangan etnis mayoritas – juga berhak memberikan perspektif hingga penjelasan tentang relasi sosial antara mereka dan kelompok lainnya di tengah masyarakat.

Louis C.K. dalam monolognya di episode final Saturday Night Live tahun 2015 membuka kesempatan tersebut di dekade ini lewat bit “mild racism“-nya. Dalam narasi yang dipandang beberapa orang kontroversial itu, Louie bicara tentang bagaimana dirinya sebagai warga AS berkulit putih bergulat dengan pemikiran stereotipe suku bangsa lain yang berkecamuk, tentunya dengan pembelaan komedik khasnya. Alih-alih berdiri sebagai pengamat dari jauh, Louis C.K. menempatkan dirinya sebagai bagian dari dan dalam budaya yang rasis di Amerika Serikat era 70-an; sebuah pemilihan sudut pandang yang tak banyak diambil oleh white comedian, jelas Goltz.

“Here’s another example of mild racism. If I say I’m in a hospital, and the doctor comes in to treat me, and the doctor’s from China or India, I’ll think, ‘Well good… good…more of that, why not?’.” – Louis C.K. (dari monolognya di Saturday Night Live, 2015, episode 787, Season 40)

Loffreda dan Rankie (2015, dalam Goltz, 2017) pernah menuliskan, “Kita sekarang sulit berbicara tentang ras tanpa menyinggung rasisme.” Pun dalam komedi, yang hakikatnya memang hanyalah sebuah karya seni, tetapi berpotensi menawarkan perspektif pikir baru. Goltz berpendapat bahwa komedi memang butuh dibatasi dan diawasi, tetapi batasan serta pangawasan itu harus disepakati bersama agar lelucon tak sekadar dipandang ofensif melainkan juga mencerahkan dan menyadarkan, hingga memicu pergerakan sosial untuk kebaikan umat manusia ke depannya. (Ulwan Fakhri)

Referensi:

Goltz, D. (2017). Comic Performativities: Identity, Internet Outrage, and the Aesthetics of Communication.  Rouletdge: London & New York.

Gregory, D. (1966). From The Back of the Bus. Avon Books.

Prakasa, E. (2013). Dari Merem ke Melek. Kepustakaan Populer Gramedia (KPG): Jakarta.

Leave a Reply