Miftah Maulana dan Tawa Pendakwah Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Miftah Maulana dan Tawa Pendakwah”, Klik untuk baca: https://www.kompas.com/tren/read/2024/12/04/140241065/miftah-maulana-dan-tawa-pendakwah#google_vignette. Editor : Sandro Gatra Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6 Download aplikasi: https://kmp.im/app6

ADA hal yang lebih besar dari pleidoi Yusuf Chudlori yang berujar, “Itu [kejadian] spontan… bagian dari komunikasi dengan bakul, dengan jamaah… guyonan biasa…”. Begitu juga Zaidan Yahya yang bilang—sebelum dihapus dari akun Instagram pribadinya, “Sebenarnya, memang karakter dakwahnya dari dulu begitu.” Pun jelas lebih penting lagi dari fakta bahwa Miftah Maulana terbiasa memborong dagangan para penjaja di acara-acara pengajiannya, termasuk bergelas-gelas es teh milik Sunhaji yang malam itu ia sarkasi dari atas panggung Magelang Bersholawat (20/11/24). Yang pasti, setelah belakangan muncul sejumlah kontroversi, tidak ada momen yang lebih tepat selain sekarang bagi penceramah lintas agama di Indonesia untuk mengenal moralitas dari tawa yang dipicunya. Sudah jadi pengetahuan umum kalau humor adalah “senjata” pendakwah Tanah Air untuk berbicara kepada awam. Mau bagaimana lagi, pasti jenuh juga ketika harus fokus mencerna firman Tuhan dan teladan orang-orang yang dipilih-Nya selama berjam-jam. Pesan-pesan penting itu juga acapkali lebih ringan jika dibawakan sambil mengajak jamaah tertawa, alih-alih cuma duduk diam.

Maka, kondanglah nama-nama seperti KH. Zainuddin MZ, Romo Mangunwijaya, Pdt. Gilbert Lumoindong, sampai Bhikkhu Uttamo Mahathera dengan inovasi ceramahnya—yang acapkali berkutat soal moralitas—dengan sentuhan humor. Nah, karena sering melantangkan perkara moralitas secara serius, wajar kalau pendakwah dituntut berperilaku sesuai dengan apa yang diucapkannya, termasuk dalam urusan bercanda. Kemelekatan pribadi dan profesi ini tak bisa terhindarkan dan berlaku di banyak hal. Pasti Anda pernah dengar ada orang yang memprotes pelawak karena lebih sering terlihat serius dan tidak ada lucu-lucunya saat sedang tidak perform, kan? Saya yakin, kita tidak kekurangan para pendakwah yang kompeten untuk membicarakan moralitas dari sudut pandang keagamaan masing-masing. Namun, sebagai “pengikut” filsuf humor Indonesia, Arwah Setiawan, yang pernah berkelakar “siap menjadi jamaah nomor satu begitu humor menjadi agama” (Humor Itu Serius: Buku Besar Arwah Setiawan, 2020, h.785), izinkan saya membagikan satu hal yang barangkali belum banyak diketahui dari “agama” kami: humor itu punya standar moralitas sendiri. Alyce McKenzie, seorang pendakwah sekaligus profesor di bidang homiletika—seni dan ilmu berkhotbah—dari Perkins School of Theology, percaya bahwa humor merupakan berkah dari Tuhan yang seharusnya digunakan untuk berjuang di jalan-Nya. Oleh karena itu, bukan masalah jika canda bertebaran di mimbar dan panggung dakwah. Pembahasan yang lebih krusial justru ada pada: humor macam apa yang laiknya ada di sana?

Dalam Humor Us!: Preaching and the Power of the Comic Spirit (McKenzie & Lynch, 2023, h.77-80), patokannya ada pada teori humor serta tertawa tertua, yakni superioritas (superiority).

Pasalnya, dibandingkan dengan dua pemicu lainnya, yakni keganjilan (incongruity) dan pembebasan (relief), tawa dari rasa superior termasuk problematik secara moralitas. Dalam teori ini, dijelaskan bahwa tawa rentan muncul ketika ada makhluk lain yang lebih celaka, papa, dan nista daripada kita. Schadenfreude, kalau kata orang Jerman. Nah, untuk mengurangi mudaratnya, humor yang berlandaskan pada rasa superior harusnya diposisikan sebagai mekanisme koreksi kepada status quo. Akan jadi sangat tepat guna apabila pemuka agama mengajak para jamaahnya untuk merasa lebih bermoral dan bermartabat daripada penguasa yang memainkan power-nya dengan semena-mena, pejabat yang korupsi, serta pembesar yang antidengan orang-orang kecil. Dengan framework ini, humor tidak lagi dipandang sebagai lucu-lucuan belaka. Pendakwah justru bisa sekaligus memantik kepedulian terhadap sesama, bangsa, dan pastinya agama.

Kendati demikian, ada pandangan alternatif dari Frank Buckley, profesor bidang hukum George Mason University. Dalam The Morality of Laughter (2003, h.54-55), ia menjelaskan konsep bernama “paradoks Hobbes”—pemikir yang ikut mengembangkan teori superioritas—bahwa orang yang menunjukkan superioritasnya lewat tertawa, sebenarnya justru yang posisinya inferior. Tawa hanyalah kemenangan kecil yang sementara. Maka, orang yang berusaha untuk bisa tertawa di atas penderitaan orang lain sebenarnya tidak seberdaya itu. Ia membutuhkan kemenangan-kemenangan kecil yang sementara itu, karena tidak bisa naik ke podium juara.

Sedikit tip dari McKenzie, humor pendakwah sangat rentan gagal ketika yang ia tertawakan adalah orang yang tidak mampu membela dirinya sendiri. Begitu pula dengan orang yang secara hierarki (sosial, ekonomi, ilmu, dan sebagainya) berada jauh di bawahnya. Namun apabila merasa ragu, McKenzie juga punya tip lain: hindari menertawakan orang lain dan biarkan komedian profesional yang melakukannya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Miftah Maulana dan Tawa Pendakwah”, Klik untuk baca: https://www.kompas.com/tren/read/2024/12/04/140241065/miftah-maulana-dan-tawa-pendakwah?page=2.

Editor : Sandro Gatra

Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6
Download aplikasi: https://kmp.im/app6

KOLOM & ARTIKEL TERBARU

KOLOM & ARTIKEL TERKAIT