“Anak zaman sekarang sudah enak, misalnya dengan stand-up comedy dan sebagainya. Pokoknya mohon maaf nih, lucu enggak lucu masuk TV. Kalau dahulu, bukan soal masuk TV atau tidak. Untuk manggung saja penuh dengan proses,” jelasnya.
Zaman dahulu, kata Miing, apabila humor yang disampaikan tidak membuat nyaman, maka langsung berurusan dengan aparat. Dalam hal ini, jika ada yang tidak berkenan, polisi akan melakukan interogasi.
“Ada rekaman radio sebagai bukti siar. ‘Ini maksudnya apa’. Mereka memeriksa kita dengan aman. Setelah itu pulang, bebas. Kalau sekarang, sudah diperiksa oleh aparatur seperti polisi dan banser, lalu dicaci maki pula,” tuturnya.
“Sebetulnya bisa saja enggak usah dipikirkan kalau diomongin orang. Tapi ternyata kita tetap kepikiran juga kalau lagi diomongin orang,” tambahnya.
Miing juga menyampaikan bahwa pelawak bukan orang yang layak ditertawakan. Walaupun, tujuan profesi ini untuk menghibur orang lain.
“Kita ingin menyampaikan hiburan tapi juga ada makna, ada nilai-nilai yang kita sampaikan. Bagaimana kita merekonstruksi cara berpikir kebudayaan bangsa. Melalui apa? Humor,” pungkasnya.
Sementara itu, ihik3 (Institut Humor Indonesia Kini) adalah lembaga yang serius dan professional dalam mengelola humor serta perpustakaan humor pertama di dunia, The Library of Humor Studies. Podcast ihik3 ada di Podme, yang merupakan podcast obrolan Yaser, Novri, dan Ulwan, yang tak hanya lucu, tetapi juga bermuatan kajian humor, karena humor itu serius.
(ELG)