Jakarta – Dua ekor belalang sembah tampak berdiri saling berhadapan. Di sisi kanan, terlihat si betina dengan menyilangkan kedua tangannya seraya bermimik marah dan berteriak, “Kamu habis selingkuh sama dia kan?” Belalang jantan, di seberangnya, tampak mematung. Saya tidak bisa menggambarkan seperti apa ekspresi dia. Sebab sang kartunis yang karya-karyanya banyak dimuat di majalah The New Yorker, Danny Shanahan, juga menggambarkannya tanpa kepala (Bad Sex!, 2007).
Semoga Anda tahu di mana letak humornya. Andaikan belum, saya bisa bantu dengan menyalinkan suatu fakta dari Google, bahwa belalang sembah adalah makhluk yang ekstrem saat berkembang biak. Setelah kawin dan jika betina merasa kelaparan, ia akan memisahkan kepala si jantan dari badannya, lalu memakannya.
Kartun yang saya deskripsikan di atas termasuk dalam kategori humor seksual, yakni humor yang mencatut referensi terkait aktivitas seksual, baik secara implisit maupun eksplisit. Humor seksual adalah fenomena global. Bahkan, salah satu humor tertua yang tercatat dalam peradaban manusia, ya mencatut soal seks.
“Laki-laki lebih suka bercinta daripada keledai. Yang bisa mengendalikan mereka hanyalah isi dompetnya masing-masing.” Joke itu terdokumentasikan dalam hieroglif Mesir berusia lebih dari 2.050 tahun yang lalu –dan tampaknya masih bisa menghibur atau minimal bikin senyum kalau dibaca saat ini.
Seperti humor pada umumnya, humor seksual adalah bahan yang menarik untuk digali dan dipahami. Pasalnya, humor seksual bisa dipakai sebagai pembaca karakter individu hingga suatu kelompok masyarakat.
Pelampiasan
Mari bertolak dari kerja keras seorang psikoanalis dan pemikir humor, Sigmund Freud (1856-1939). Pada masa pra-Freud, seks secara umum dianggap tidak berbobot di kalangan peneliti. Anggapannya lebih kurang sama seperti yang masih dianut sebagian orang sekarang: tabu, tidak penting, dosa, dan semacamnya.
Tapi, Freud tak memedulikannya dan malah bersemangat mengangkat seks masuk ke ranah akademik, mengulitinya, lalu menjadikannya pintu untuk memasuki sisi manusia yang pada masa itu masih sangat gelap. Singkat cerita dalam karya monumentalnya Jokes and Their Relation to the Unconsciousness (1905), Freud berargumen bahwa humor seks muncul dan disukai sebagai bentuk pelampiasan atas terkekangnya seks secara topik pembicaraan maupun aktivitas pada masa itu.
Namun, seorang peneliti humor dari Tel Aviv University, Avner Ziv, datang dengan pertanyaan baru. Setelah lebih dari setengah dekade dan keadaan masyarakat telah berubah, mengapa humor seksual masih digandrungi banyak orang?
Ia berangkat dari hasil studi Hasset dan Houlihan (1979): 14.500 responden membuktikan bahwa sangat sedikit di antara mereka (13 persen) yang mengklaim libidonya rendah. Mereka juga mayoritas telah mengenyam bangku kuliah, yang diasumsikan sudah berusia dewasa serta punya akses ke beragam media juga topik tentang seksualitas. Namun, para responden ini sepakat bahwa dari 30 joke beragam kategori yang disodorkan, joke bermuatan seksuallah yang menurut mereka paling lucu.
Nah, ternyata di era modern ini, humor seksual tetap digemari bukan karena banyak di antara kita yang seksualitasnya terkekang. Dalam Personality and Sense of Humor (1984), Ziv berargumen bahwa humor seksual tetap disukai karena dua hal: terlalu gandrungnya manusia akan hal-hal berbau seks serta adanya ketidakpuasan dalam kehidupan seks kita.
Poin pertama, masyarakat modern kini menjadikan humor sebagai medium untuk menyalurkan keinginan atau kebutuhan naturalnya (dalam konteks ini adalah seks) ke bentuk-bentuk yang masih bisa dimaklumi oleh norma sosial. Dalam psikonalisis, konsep ini disebut sublimasi (sublimation). Namun, menurut Ziv, humor seksual di sini bukan sebagai sublimasi yang sesungguhnya.
Humor seksual bukan pengganti aktivitas atau pemikiran seksual dalam kepala kita, melainkan sebagai pelengkap dari pengalaman tersebut. Saya akan mencoba untuk menjelaskannya lewat metode yang sedang populer di media sosial: explaining in football terms. Gampangnya begini. Ketika Anda sangat menyukai sepak bola, maka Anda tidak akan berhenti sampai pada bermain fun football tiap akhir pekan saja. Anda pasti bakal terdorong untuk menonton pertandingan-pertandingan sepak bola di televisi, memainkan beragam gim sepak bola, mengoleksi jersey pemain sepak bola, hingga (mungkin) menabung untuk mengakuisisi klub favorit Anda.
Tetapi, di sisi lain, humor juga bisa menjadi wujud kekecewaan seseorang untuk urusan seks. Sebab seks itu sendiri bukan hanya aktivitas yang membutuhkan fungsi fisiologis, melainkan juga psikologis. Tujuannya, supaya muncul efek yang naturalnya kita anggap “menyenangkan”. Ketika realitasnya tidak sesuai dengan ekspektasi, humor seksual menjadi strategi yang sangat lumrah untuk mengekspresikannya.
Refleksi
Dari contoh humor Mesir di atas, misalnya, kita jadi tahu bahwa ternyata ada (dan banyak) aspek-aspek non-romantis yang berkaitan dengan seks, seperti kuatnya budaya patriarki. Dalam humor-humor seks yang lain, Anda bakal mudah menemui “pesan moral” seperti pentingnya kualitas komunikasi suami-istri, hebatnya perjuangan pasangan LBTQ dalam melawan stigma, dan sebagainya.
Jelas mustahil memusnahkan humor seksual dari masyarakat bahkan kepala kita masing-masing. Yang penting sekarang, bagaimana kita menggunakan humor secara sadar dan menjadikannya bagian dari refleksi untuk menjadikan diri lebih baik. Contohnya, dengan makin naiknya frekuensi kasus viral pelecehan seksual di lingkungan kerja yang diklaim sebagai “candaan”, sangat perlu untuk kita semua sejenak merenung. Apakah kita menikmati humor seksual sebagai bentuk antusiasme berlebih terhadap topik seksualitas? Atau, sebaliknya? Humor seksual yang rajin sekali kita lontarkan atau konsumsi justru merupakan “S.O.S” atas terenggutnya kebahagiaan kita di ranjang?
Ulwan Fakhri peneliti humor IHIK3, salah satu penulis buku “Humor at Work: Kerja Gembira, Usaha Berjaya” (2022)
Baca artikel detiknews, “Merefleksikan Humor Seksual” selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-6321060/merefleksikan-humor-seksual.
Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/