Mengenang Arwah Setiawan (2)

Humor Dipandang Sebagai Pengungkapan Estetis Rendah

Memang bukan hanya di kalangan manusia Indonesia saja sikap begini bercokol. Dalam bukunya Asian Laughter, Leonard Feinberg memperhatikan bahwa “Di Negara-negara Asia, humor dan satire biasanya dipandang sebagai bentuk pengungkapan estetis yang lebih rendah.

Dalam buku tersebut tertulis:…. Asia tak pernah memberikan pengakuan resmi kepada para satiris jeniusnya seperti yang diberikan dunia Barat kepada Aristophanes, Cervantes, Moliere, Rabelais.

” Tetapi daripada mencari angin dari keadaan yang serupa dengan kita, sebaiknya kita jadi lebih menyadari bahwa ada masyarakat lain di dunia ini yang bisa memberikan penghargaan kepada para humorisnya dan menempatkan mereka pada kedudukan yang selayaknya,” ungkap Feinberg.

Humor Diperlakukan Layaknya Pembantu Dalam Kebudayaan

Dan kalau tokoh-tokoh humoris masih disuruh jongkok sama rendah dengan pembantu dalam jenjang masyarakat kita, begitu pula humor itu sendiri baru dipandang sebagai unsur pembantu dalam kebudayaan kita.

Seorang dari kelas atas masih boleh menyentuh humor, asal humornya sekadar untuk memeriahkan obrolan di antara teman, atau buat menyegarkan ceramah ilmiah serta menyemarakkan kampanye politik. Tapi kalau humor yang paripurna, berdiri sendiri, itu kurang gengsi — kerjaan badut-badut.

Manakala ada usaha mengaitkan humor dengan suatu budang budaya lain, susunannya akan seperti: “syair ini lucu”, “gambar ini menggelikan”, film ini “banyak banyolannya”. Jarang terpikirkan untuk menyusun seperti: satire ini indah bahasanya, kartun ini matang goresannya, komedi ini rapi dramaturginya.

Maka kalau sudah diketahui ada humor dalam sastra, ada humor dalam pers, ada humor dalam drama, belum disadari adanya aspek sastra dalam humor, aspek komunikasi massa dalam humor, aspek teaterd alam humor. Ibarat masakan, humor dianggap bumbu penyedap belaka bagi hidangan lain.Kurang dipikirkan humor sebagai hidangan pokok penuh gizi.

Tapi andaipun sudah sampai sebegitu saja – humor sebagai unsur dari bidang budaya lain telah benar-benar dipelajari – sudah lumayanlah keadaannya. Payahnya, masih begitu sulit untuk menemukan artikel yang popular saja, karangan asli

Indonesia yang membahas humor. Jangan lagi bicara buku, yang padahal di luar sudah ditulis oleh tokoh-tokoh berat seperti Henri Bergson, Sigmund Freud, Arthur Koestler, dan ratusan lainnya.

Semua Bidang Cipta Diciptakan Sederajat

Tapi benarkah memang “dari sono”-nya humor itu sepele? Benarkah humor tidak memiliki unsur-unsur yang memungkinkannya berdiri sama tinggi dengan sector-sektor budaya lain yang sudah lebih diakui?

Dalam bukunya, The Act of Creation, Arthur Koestler membagi kreativitas manusia ke dalam tiga wilayah (three domain of creativity): Humor, ilmu pengetahuan (discovery) dan seni (arts). Ketiganya sederajat, karena semua dapat diberlakukan pada peristiwa yang sama dan batasannya sering tumpang tindih.

Kegiatan kreatif ketiganya berjalan di atas proses yang sama, yaitu mencari analogi tersembunyi. Yang membedakannya adalah iklim emosi yang terlibat, baik yang mendasarinya maupun yang diakibatkannya.

Humor membuat orang tertawa, ilmu pengetahuan mengakibatkan orang menjadi paham, seni membuat orang takjub atau terharu.  Emosi yang mendasari humor bersifat agresif, ilmu pengetahuan didekati dengan emosi netral atau berjarak, seni diliputi rasa kagum atau belarasa.

Humor Punya Logika Sendiri

Humor mempunyai logikanya sendiri. Logika humor, oleh Koestler didasarkan pada teorinya, bisosiasi. Bisosiasi adalah proses kreatif yang berjalan di atas lebih dari suatu bidang datar kerangka pemikiran atau konteks.

Ini berbeda dengan proses kreatif lainnya, yang berlangsung di atas satu dataran konteks saja. Sebagai ilustrasi:

Seorang wanita cantik yang sok agung dirayu oleh seorang pemuda. “Maaf ya, Dik,” tolak wanita itu, “Hatiku adalah milikku sendiri.”

“Tapi, Say,” sahut pemuda itu, “sasaran saya tidak setinggi itu.”Istilah “tinggi” di sini dibisosiasikan dengan konteks kiasan (ungkapan “tinggi hati”) dan konteks jasmaniah (letak anatomis).

Penangkapan humor tergantung pada kelincahan rasio untuk meloncat dari bidang konteks pertama ke bidang konteks kedua.

Emosi yang sejak dasarnya memang lebih lamban tidak dapat mengikuti rasio dan akan terhambur dalam tawa. Dari sini tampak, humor pertama-tama, merupakan kegiatan pikiran, intelek.

Kekreatifan dapat pula dilihat dari segi pentahapan proses cipta. Seorang wartawan yang ingin membuat laporan tentang persitiwa aktual, misalnya, harus melalui dua tahap penciptaan. Pertama adalah menganalisa peristiwa tersebut dan memilih unsur-unsurnya untuk diciptakan menjadi gagasan yang analogis dengannya. Tahap kedua adalah ketika ia mencipta sebuah karangan tulisan dari gagasan analogis itu.

Seorang humoris yang menulis sebuah satire dari peristiwa yang sama – maupun seorang sastrawan yang ingin membuat cerpen darinya – harus melalui tiga tahap dalam proses penciptaannya. Pertama ia akan menciptakan suatu gagasan analogis langsung dari peristiwanya. Lalu ia harus melalui tahap kedua, yaitu mencari analogi humoristik (pada cerpen analogi estetis) dari gagasan tadi. Barulah dari gagasan humoristis hasil tahap kedua itu diciptanya pada tahap ketiga, sebuah tulisan satire.

Mengenang Arwah Setiawan (bagian 2)
Mati Ketawa Ala Indonesia: Humor itu Serius…!
Red: Muhammad Subarkah

Source:

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/02/22/o2xdk9385-mati-ketawa-ala-indonesia-humor-itu-serius

Copyrights 2019 | IHIK