“A joke a day, and I’m on my way, with no fear of tomorrow.”
– doa yang dipanjatkan sehari-hari oleh seorang Santo dari Italia abad ke-16, Philip Neri
Tahun 1988, filsuf humor Indonesia, Arwah Setiawan sudah memproklamirkan bahwa humor merupakan salah satu unsur ketahanan nasional. Esainya yang terpublikasi dalam buku Humor Itu Serius (2020) tersebut menjelaskan kalau humor bisa menjadi sarana penyaluran uneg-uneg, agresivitas, hingga rasa kecewa secara lebih menyenangkan sekaligus menghibur buat orang lain.
Di antara unsur-unsur ketahanan nasional, yakni Tri Gatra (wilayah, sumber daya alam, dan penduduk) dan Panca Gatra (ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, serta pertahanan dan keamanan), fungsi tersebut masuk ke kategori penguat pilar hankam suatu negara.
Sebab alih-alih menimbulkan friksi dan kerusuhan, humor mampu memfasilitasi pelampiasan rasa frustrasi masyarakat secara lebih “kondusif”, melalui meme kartun dan mural yang menyentil; puisi dan musik satire; lelucon di panggung lawak dan stand-up comedy; serta masih banyak yang lainnya.
Bahkan secara spesifik untuk urusan radikalisme dan intoleransi, humor juga sudah mulai dijadikan “senjata” dalam strategi hankam. Contohnya, pemerintah negara bagian Jerman, Nordrhein-Westfalen, membuat kanal YouTube “Jihadi Fool” berisikan video-video satire untuk melawan narasi kelompok ekstremis. Kendati terkendala dalam memahami kontennya dalam bahasa asli, saya masih bisa menikmati dan menangkap pesan yang diselipkan dalam video-video parodi yang berfungsi untuk “menelanjangi” ideologi dan citra ekstremis itu.
Terima kasih atas kecanggihan mesin penerjemah Google dan “bahasa humor” yang universal, tentunya.
Ada juga sebuah startup yang fokus memproduksi konten komedi untuk menghasilkan narasi melawan kelompok berpaham ekstremisme yang lekat dengan aksi kekerasan. Strategi yang dilakukan startup bernama Mythos Labs itu adalah berkolaborasi dengan para komedian.
Setali tiga uang dengan di sini. Beberapa warganet Tanah Air mungkin sudah tak asing dengan pergerakan untuk membicarakan isu dan topik keagamaan menggunakan bumbu-bumbu humor. Akun-akun yang dilabeli “garis lucu” ini hadir sebagai narasi alternatif di tengah masyarakat atas narasi gerakan keagamaan “garis keras”.
Kalau orang Jerman – yang acap distereotipekan kaku dan tidak punya selera humor – saja sudah seberani itu melawan radikalisme dan intoleransi dengan pendekatan humor, sepertinya bukan langkah buruk kalau nanti pemerintah kita mengintegrasikan NU Garis Lucu, Muhammadiyah Garis Lucu, Katolik Garis Lucu, Kristen Garis Lucu, Konghucu Garis Lucu, Hindu Garis Lucu, dan kelompok “garis lucu” lain dalam strategi mempromosikan inklusivitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kendati demikian, menggunakan humor dalam strategi komunikasi melawan intoleransi memang bukan perkara mudah. Humor memang alat efektif, tetapi ia juga pisau bermata dua. Kalau mengutip Ramsay & Alkheder di Joking about Jihad (2020), penggunaannya perlu dipikirkan betul-betul agar tidak sampai menjadi bumerang karena humor secara subversif mengandung moral dan nilai yang mungkin sesuai dengan agenda kelompok tertentu, tetapi berbeda di kelompok lainnya.
Selera humor adalah tameng kita
Namun di samping manfaat yang sifatnya makro itu, humor juga bisa menjadi pelindung individu dalam skala yang lebih mikro. Dalam bentuk apa? Selera humor!
Di antara beragam soft skill yang digembar-gemborkan di era modern ini, saya rasa selera humor perlu dimasukkan juga di dalamnya. Sebab selera humor bisa membantu kita untuk mengenali adanya kekurangan-kekurangan dalam diri, lalu berdamai dengannya sembari mencari cara untuk mentertawakannya.
Pendapat ini saya elaborasi dari definisi selera humor (sense of humor) Gene Perrett di The New Comedy Writing Step by Step (2007), yakni sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali (see), menyadari (recognize), dan menerima (accept) fakta atau keadaan secara apa adanya. Tiga kualitas ini adalah bekal untuk melahirkan humor, terutama yang bersumber dari dirinya sendiri, dan biasa didemonstrasikan para humoris seperti Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Lebih kurang, hal ini tercermin dalam kelakar Gus Dur tentang dirinya selaku Presiden RI kala itu. Dalam suatu forum internasional di Bali akhir 1999, dengan rileks ia berkata kepada ratusan peserta yang hadir.
“Presiden dan Wakil Presiden kali ini adalah tim yang ideal. Presidennya tidak bisa melihat, sementara wakilnya tidak bisa ngomong.”
Atau leluconnya saat didemo sekelompok orang dan diminta mundur dari kursi presiden. “Mundur?” Kata Gus Dur. “Anda ini bagaimana? Wong saya ini maju saja susah harus dituntun, kok disuruh mundur?”
Intinya, selera humor adalah cara kita berwawas diri secara happy.
Humor adalah pembiasaan
Pernah mendapatkan berita hoaks yang saking tidak logisnya tidak membuat Anda sebal atau marah, tapi malah tertawa geli?
Fenomena itu bisa dijelaskan dari sudut pandang kajian humor. Menurut teori keganjilan (incongruity), humor dipicu oleh sesuatu yang ganjil. Adanya hal yang tidak lazim, tidak pada tempatnya, atau tidak sesuai nalar (common sense) itulah yang membuat orang-orang yang berhasil menangkapnya terangsang untuk tersenyum atau tertawa. Dalam situasi yang saya gambarkan di paragraf sebelumnya, gejala humornya adalah hoaks yang susah dilogikakan, sehingga otak kita menggolongkannya sebagai suatu hal yang ganjil dan menstimulus respons berupa tertawa.
Orang-orang yang terbiasa dengan humor memang relatif lebih mudah melihat sesuatu yang aneh. Sebab orang-orang ini sudah sering melihat pola berupa pembengkokan suatu fenomena atau hal yang “lurus”.
Yang unik, selera humor bukan suatu mukjizat atau bakat alam, melainkan pembiasaan. Ya, kemampuan menangkap, mengenali, dan menerima tadi adalah sebuah pembiasaan.
Saran saya, mulailah dengan menjadi apresiator humor. “Kunyah” humor apa pun: film, meme, video TikTok, acara lawak di YouTube atau televisi, semuanya deh!
Saat Anda sudah terbiasa mengapresiasi humor, apa pun bentuknya, maka Anda akan terbiasa melihat hal-hal “benar” yang sengaja dibelokkan oleh kreatornya demi memunculkan rangsangan senyum atau tawa. Hal ini akan memicu Anda untuk mulai memikirkan humor, lalu memproduksi humor.
Meminjam petuah pakar periklanan Sir John Hegarty, “Read sh*t, and you’ll think sh*t, and you’ll create sh*t,” maka kalau kita mau menghasilkan humor, tidak ada tahapan lain selain: “read, listen, and watch humor. Then you’ll think humor. And then create humor.”
Andaikan kebiasaan mengonsumsi humor dengan sengaja dibiasakan sejak dini atau dihadirkan di tengah masyarakat, bisa jadi respons bangsa kita ke depannya ketika melihat ada suntikan-suntikan ideologi yang melenceng tanggapannya hanya tertawa, atau kalau yang selera humornya sudah level tinggi, justru dibuat bahan tertawaan.
Danny Septriadi (co-founder IHIk3) & Ulwan Fakhri (peneliti humor IHIK3)
Tentang Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3)
IHIK3 adalah pusat kegiatan humor di Indonesia yang mengelola humor secara serius dan profesional berbasis pengalaman, ilmu pengetahuan, dan riset dengan pendekatan multidisiplin ilmu juga multiprofesi. Didirikan oleh tiga orang penikmat, pelaku, sekaligus pemikir humor: Seno Gumira Ajidarma, Darminto M. Sudarmo, dan Danny Septriadi, IHIK3 menunjang kepakarannya di bidang humor melalui Library of Humor Studies, perpustakaan humor berisi ribuan literatur serta produk humor dari dalam maupun luar negeri. Program IHIK3 sendiri sejauh ini adalah penerbitan buku humor, simposium humor, hingga hibah untuk penelitian humor. Humor itu serius, sehingga perlu diseriusi, dan IHIK3 berkomitmen untuk “menyeriusi” humor sehingga tercipta ekosistem dan ekonomi komedi.
Tim kami terdiri dari:
– Maman Suherman (Advisor)
– Novrita Widiyastuti (Chief Executive Officer)
– Yasser Fikry (Chief Creative Officer)
– Dr. Maman Lesmana (Sr. Academic Researcher)
– Ulwan Fakhri (Academic Researcher)
– Nia Nuraini (Project Officer)
Tekad kami: Demi Humor yang Adil dan Beradab!
Informasi lebih lanjut tentang IHIK3 hubungi: Novrita Widiyastuti +62818486185 https://ihik3.com | email: ihik3@yahoo.com