“Besok Om Badut main ke sini lagi, kan?”
Pertanyaan Faiz menghentikan langkah kami bertiga sejenak. Kami seperti tiba-tiba ditodong dan disudutkan. Pelakunya anak balita. Walaupun baru saja mendapatkan hadiah dari donatur berupa mainan pesawat terbang yang gagah, jumbo, dan bisa bikin kepala saya benjol kalau ditabrakkan, ternyata bocah termungil sekaligus yang paling antusias serumah singgah itu masih mengidam-idamkan visitasi lanjutan dari kedua badut tersebut. Kali ini, Dedy dan Alfian hanya bisa melempar senyum dan lambaian ke arah Faiz, sembari mengarahkan sepeda motornya masing-masing keluar dari teras.
—
Christopher Bayes – dalam bukunya Discovering the Clown or The Funny Book of Good Acting (2019) yang ditulis bersama Virginia Scott – bilang, “Badut itu tidak menjijikkan. Ia indah.”
Itulah falsafah yang seharusnya seseorang resapi sedetik setelah ia menjepitkan hidung aslinya dengan aksesori hidung merah (red nose) badut. Menurut Patch Adams, “dokter badut” asal Amerika Serikat, aksesori mungil itu berkah tersembunyi bagi umat manusia. Jangan salah, hidung merah itu sudah ia memanfaatkan untuk menghidupkan sudut ruang tunggu klinik yang muram, membuat pengendara lain tersenyum saat ia kenakan sambil menyetir sehari-hari, sampai menjadikannya medium diplomasi di Rusia (Patch Adams: Kisah Inspiratif Seorang Dokter Eksentrik yang Menyembuhkan dengan Humor dan Kebahagiaan, 2008).
Hidung merah itu bak topeng – bahkan topeng terkecil di dunia, kalau kata aktor dan badut kawakan dari Swiss, Pierre Byland. Namun, tidak seperti topeng pada umumnya yang menyamarkan, hidung merah justru mengekspos eksistensi si badut di antara khalayak sambil membantu membangkitkan karakter-karakter khasnya.
Salah satu karakter istimewa badut tersebut adalah tidak berpikiran seperti orang-orang dewasa pada umumnya. Lanjut Bayes, badut bukanlah anak-anak; ia hanya memiliki logika anak-anak. Maksudnya, badut cuma boleh berpandangan polos terhadap dunia yang ia tinggali, sekejam, sesulit, sememuakkan apa pun itu.
Implementasinya bisa begini. Badut tidak perlu menunjukkan rasa takutnya, sehingga tutur katanya menularkan optimisme pada sekitar. Badut pun tidak mengenal rasa sedih, tetapi tahu bagaimana bersikap untuk membuat orang lain berhenti merasakan kesedihannya. Badut juga tidak sekadar pura-pura bodoh. Justru, ia harus menggunakan kecerdikannya untuk secara meyakinkan terlihat bodoh, sehingga menghilangkan sekat logika antara mereka dengan anak-anak yang jadi penonton pertunjukannya.
Mulai paragraf ini, sepertinya kita harus mulai melunturkan julukan badut untuk politisi, mengingat politisi yang sifatnya seperti badut versi Bayes tadi di Senayan belum ada wujudnya.
Konsep-konsep tersebut memang saya dapatkan dari literatur barat dan ditulis oleh seorang mentor sekaligus profesor bidang akting dan teater. Akan tetapi, abstraksi macam itu ternyata juga telah menjangkiti Dedy Delon, salah satu pendiri grup Aku Badut Indonesia (ABI). Kemampuan Dedy untuk mengimplementasikannya tentu tak datang tiba-tiba, melainkan dari buah pengalamannya selama hampir 30 tahun menjadi badut profesional.

Jumat (28/02/2020) siang itu, saya dipersilakan mengobservasi kegiatan pria yang karib dengan sapaan Panglima Badut tersebut bersama rekan seprofesinya sekaligus anggota ABI, Alfian Sadewa, untuk menghibur anak-anak di suatu rumah singgah yang terletak di kawasan Tomang, Jakarta Barat. Satu jam sebelum acara dimulai, kami mengobrol santai sambil menenggak minuman dalam kemasan yang dibeli dari minimarket terdekat.
Sebelum bertransformasi menjadi badut, Dedy dan Alfian ya seperti orang dewasa pada umumnya saja. Mereka berkisah tentang perjalanan hidupnya yang meliak-liuk, ideologinya menjalani profesi sebagai badut, ragam aktivitas profit dan nonprofit yang mereka jalani di ABI, tanpa terlupa untuk bercanda juga tertawa bersama. Saya amati, refleks mereka dalam merespons suatu topik serius dengan humor begitu tinggi. Mengagumkan.
30 menit berselang, mereka pun mulai mempersiapkan diri. Ekspresi mereka kini jauh lebih serius, lebih serius daripada kala membahas jatuh-bangun menjadi badut dan mendirikan ABI tadi. Mereka merasa harus sempurna di mata anak-anak, walaupun audiens pertunjukan mereka sore itu cuma enam anak saja. Make up, kostum, dan beragam aksesori menempel satu demi satu di tubuh mereka. Tidak ada pula warna berlebihan di wajah mereka, hanya warna putih, hitam, dan merah. Badut memang lekat dengan konsep hiperbola, tandas Dedy, tetapi bukan berarti semua warna boleh menempel di muka.
“Selain bisa membuat anak kecil lebih mudah ketakutan, ini juga sudah menjadi ciri khas ABI,” katanya.
Aksesori yang mereka persiapkan hari itu jauh dari kesan berlebihan. Tanpa gumpalan untuk membuat perut membuncit, kala itu Dedy malah mengenakan pakaian putih ala dokter, kemeja cerah, dasi warna-warni yang panjang, juga kincir kecil di kepala yang telah menjadi ciri khasnya. Alfian pun setara necisnya, berkat topi Chaplin hitam, baju dan celana monyet beraksen batik, plus dasi kupu-kupu yang besar sekali.
Usai masing-masing memakai sepatu badut spesial berlabel ABI, mereka pun melangkah keluar ruangan dengan aura berbeda. Aura indah para badut. Keduanya pun mulai melempar senyum, bertingkah lucu, membaur ke tengah anak-anak dan pengasuh, para donatur, serta lautan sembako, hadiah, juga mainan yang mereka bawa.
Pertunjukan lalu dimulai. Setahap demi setahap, Dedy dan Alfian menunjukkan kebolehannya sebagai badut. Bukan kemampuan bersulap atau melawak yang paling memukau saya, tetapi cara mereka mengimplementasikan falsafah badutlah yang berkesan.
Saat salah satu anak takut maju ke depan untuk bermain games, keduanya memotivasinya agar bernyali. Di tengah pesimisme untuk sembuh dari penyakit yang mereka derita, keduanya mencari celah sekecil apa pun untuk membuat mereka tersenyum. Dedy berbisik pada saya, setidaknya ketika mereka hadir satu atau dua jam di tengah anak-anak ini, satu-dua jam itu pula mereka lupa akan sakitnya.

Yang tak kalah menarik sore itu adalah bagaimana cara mereka menghadapi anak yang agresif. Di awal-awal, si kecil ini tidak segan menginterupsi penampilan Dedy dan Alfian, bahkan melakukan kontak fisik. Akan tetapi, mereka tidak menghindari anak ini. Keduanya malah duduk di samping anak ini, mengajak mengobrol, dan bermain sulap bersama. Sesederhana memberikannya perhatian lebih dibandingkan anak-anak lainnya sejenak dan, voila!, amuk anak itu mereda sampai akhir laga.
Menyandingkan Patch Adams dengan Dedy, Alfian, maupun badut-badut lain yang telah menegakkan falsafah kebadutan mungkin masih terlalu jauh. Mereka-mereka mungkin tidak punya basis ilmu kedokteran yang mumpuni, sehingga bukan haknya memberikan penyembuhan secara medis. Setidaknya, mereka sudah dan masih melakukan apa yang bisa mereka kontribusikan sebagai badut berpengalaman juga berhati besar – benar-benar suatu hiperbola yang selaras dengan atribut badut yang mereka kenakan: humor dan kebahagiaan.
Inovasi dunia medis, obat-obatan, dan kompetensi dokter serta perawat boleh makin hebat. Namun, humor masihlah obat paling universal untuk penyakit manusia; setidaknya, Patch Adams bilang diktat-diktat kedokteran mainstream belum menyangkalnya. Ada urgensi tersendiri untuk menyuntikkan humor dan kebahagiaan ini di tengah dokter-suster dan pasiennya. Bukan untuk “lucu-lucuan” semata, tapi untuk kemaslahatan kita semua.
Optimisme ini datang dari kajian-kajian terkait humor lintas ilmu, termasuk kedokteran, yang makin berkembang di luar negeri. Di sini? Jangan berharap produktivitasnya setara, kadang perisetnya sendiri saja ragu. Tidak apa-apa. Kami di Institut Humor Indonesia Kini (Ihik3) – yang berbekal perpustakaan berisi ribuan literatur kajian humor lintasdisiplin dan telah tercatat di MURI sebagai Perpustakaan Humor Pertama di Indonesia – bakal mati-matian membela kalau sampai humor yang terinstitusi resmi di rumah sakit-rumah sakit dianggap sama konyolnya dengan pengobatan alternatif berbasis “batu magis”.
—
Dedy dan Alfian sepertinya sudah sangat terbiasa mendengar “rengekan” macam Faiz bilang tadi. Maklum, sudah berkali-kali mereka menghibur anak-anak yang sedang berjuang melawan kanker. Justru saya yang sedikit terkejut dan malu. Ternyata bukan saya yang capai-capai baca buku dan teori tentang badut, malah si kecil Faiz – yang tadi saja masih kebingungan saat ditanya umurnya berapa – yang paling berhasil menemukan keindahan dari badut.
Ulwan Fakhri – Peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3)