Kartun Indonesia, Komoditas Sumber Daya yang Belum Terurus

thomas-lionarKartun karya Thomas Lionar

Kartun Indonesia, Komoditas Sumber Daya yang Belum Terurus

SAMPAI tahun 1994 dalam perkiraan kasar di Indonesia terdapat tak kurang 1.300 kartunis. Mereka tersebar dari Sumatera, Jawa, Bali hingga Sulawesi. Memang harus diakui, secara kualitatif, mungkin hanya 30-40 persen di antara jumlah itu yang layak diperhitungkan secara serius. Namun, potensi kreativitas dan produktivitas mereka tak kalah bila dibandingkan dengan kartunis dari beberapa negara lain.
Sebuah survei yang dilakukan majalah kartun dunia WittyWorld terbitan Amerika Serikat tahun 1991-1992, diikuti oleh 245 kartunis dari 46 negara, tersusun peringkat menarik. Terdapat 25 daftar kartunis kenamaan dunia. Tercantum nama Mikhail Zlatkovsky, Rusia, urutan pertama; Thomas Lionar, Indonesia, urutan kesepuluh; dan Victor Bogorad, Rusia, urutan terakhir. Kriteria survei itu merujuk pada aspek artistik, ide, dan pengakuan sesama kartunis dalam skala nasional maupun internasional.
Mengapa ini menarik? Thomas Lionar (almarhum), yang lebih dijuluki kartunis meteor (begitu cepat membara, cepat pula lenyap, meninggal dalam usia muda) kendati di bawah Jeff Macnelly, Guilermo Mordillo, Bill Watterson, dan Pat Oliphant, namun posisi urutannya bahkan berada di atas Gary Larson, Ranan Lurie maupun Herge.
Indikasi ini, meskipun hanya satu versi di antara sekian versi yang mungkin ada, namun tetap layak dijadikan asumsi, bahwa kartunis Indonesia telah mampu tampil secara wajar dalam barisan kartunis dunia. Apalagi, bila diperkukuh dengan kehadiran GM Sudarta, Dwi Koendoro, Pramono, Prijanto Sunarto, T. Soetanto, Jaya Suprana dan didukung banyak kartunis muda lain yang acapkali merebut berbagai kejuaraan dalam lomba kartun internasional yang diselenggarakan berbagai negara.

Refleksi Komoditi
Kartun, meski peran keseniannya tak bisa diragukan lagi, namun sebagai perangkat lunak, ia merefleksi ke sektor komoditi yang luar biasa luasnya. Sejumlah sindikasi di Amerika Serikat, Jepang, Inggris dan lain-lain, mengolah kartun sebagai software yang memiliki nilai jual tinggi. Baik dalam bentuk cerita lepas bergambar, yang dikonsumsi media massa di seluruh dunia; sebagai buku bacaan, yang diterjemahkan ke puluhan bahasa di dunia; maupun sebagai sinema animasi (film dan iklan) yang ditayangkan baik di televisi maupun layar lebar di berbagai penjuru dunia. Bahkan, trend mutakhir sinema di Amerika serikat yang menduduki peringkat atas saat ini, adalah trend film-film kartun.
Mengapa Indonesia tidak mengolah peluang ini? Mengapa televisi kita, baik yang negeri maupun swasta, sebagian besar (kalau tak boleh disebut seluruhnya) menayangkan film kartun animasi impor? Mungkin hanya satu dua biro iklan yang mau mempercayakan visual bergaya kartun. Pernah terlontar pertanyaan, bagaimana kalau kartun animasi kita produksi sendiri?

Pasti akan muncul jawaban klasik, memproduksi sendiri kartun animasi, tak mungkin. Biayanya mahal. Tak ada produser yang mau ambil risiko. Tak sepadan antara ongkos produksi dan nilai jual perangkat itu ketika dipasarkan ke beberapa stasiun televisi.
Benarkah sedemikian risaunya peluang investasi di bidang komoditi kartun? Kalau sejumlah negara di Asia, seperti Jepang, Korea, dan Taiwan juga berhasil menggarap kartun menjadi ladang komoditi yang marak dan penuh gairah, apakah di negeri-negeri itu biaya produksinya murah? Hemat saya, kasus kartun di negeri kita terlalu cepat dihakimi dalam format yang sepihak dan kurang mengoptimalkan dialog. Pendapat investor, produser, praktisi, kartunis, wakil konsumen, pemerintah (via departemen terkait), dan masyarakat awam, perlu diagendakan sebagai data yang layak dirujuk validitasnya.
Keterburuan sejumlah animator kita untuk “menyerah” karena alasan modal uang, mungkin persoalan kasuistik. Meski demikian, masih ada sejumlah animator lain, di antaranya Proanimasindo, Jakarta, tetap menampakkan semangat juangnya. Ada dua paket “kolosal” yang sedang digarapnya, yakni Satria Indonesia dan Doyok. Paket ini, khusus disiapkan untuk ditayangkan di TPI secara periodik. Beberapa tahun yang lalu, serial animasi Huma juga pernah digarap PFN, sayang tak bertahan lama. Sementara Citra Audivistama, konon sedang menyiapkan serial animasi Bobo yang juga untuk ditayangkan di televisi swasta.
Kabar ini jelas menggembirakan. Apalagi sejumlah biro iklan atau biro jasa animasi, dengan dukungan komputer dan perangkat eksternal, makin sibuk melayani permintaan klien yang kian meningkat cita rasanya. Sejumlah produk animasi, baik berupa tampilan logo di beberapa televisi dan tayangan iklan, digarap oleh bangsa kita dengan hasil cukup lumayan. Ini juga indikasi lain, animator kita di bidang teknis, baik yang manual maupun digital (menggunakan komputer) dapat membuktikan kemampuannya.

Refleksi Profesi
Kartunis, baik sebagai figur di belakang kreativitas maupun elemen inti sebuah produksi software makin dituntut peranannya. Artinya, ia akan menentukan sikap sebagai “institusi” profesional atau masuk dalam salah satu sistem institusi sebuah perusahaan. Dari sejumlah sindikasi kartun yang maju, kedua pilihan itu tetap ada.
Pola kerja kartunis profesional, mengkontribusi sejumlah produk, baik yang dipesan sindikasi atau yang ditawarkan atas inisiatif kartunis sendiri.
Lepas dari aturan main yang ada, bila kegairahan sejumlah institusi atau perusahaan untuk mulai menentukan ladang komoditi di kartun; bidang yang sangat tipikal dan memiliki fleksibilitas unik ini; maka kian jelas implikasinya, yakni munculnya sebuah terminologi profesi baru dalam tradisi keprofesian kita. Selama ini, seorang karikaturis/kartunis yang bekerja di media massa, selalu “numpang” golongan ke dalam profesi wartawan, padahal kartunis, adalah jalur profesi yang juga sah hadir dalam peta terminologi profesi di negeri ini. Lebih-lebih di mancanegara.
Masih merujuk WittyWorld, edisi nomor 14, Summer/Autumn 1992, dimuat peta penghasilan kartunis dunia. Dari Australia, Bangladesh, Bulgaria, Brazil, Chile, Cekoslowakia, Denmark, Mesir, Jerman, Hongkong, India, Indonesia, Jepang, Meksiko, Nigeria, Peru, Filipina, Polandia, Rumania, Turki, Amerika Serikat hingga Rusia. Peringkat pertama adalah Amerika Serikat; rata-rata penghasilan tiap kartunis sebesar 88.069 dollar AS (kurs saat ini kira-kira 187.675.039 rupiah) pertahun. Dengan perbandingan, penghasilan tertinggi 1.400.000 dan terendah 500 dollar AS.
Peringkat penghasilan kartunis Amerika Serikat ini, mungkin masih merupakan kontroversi. Dalam sebuah wawancara sebelumnya antara WittyWorld (edisi nomor 13) dengan Charles M. Schulz, terungkap data penghasilannya mencapai 24.000.000 dollar AS per tahun. Kartunis pencipta tokoh Peanuts ini memang dikenal berpenghasilan “Megadollar”, bahkan lebih besar dari sejumlah aktor dan aktris top Amerika.
Peringkat terakhir, Polandia, rata-rata hanya 180 dollar AS per tahun. Perbandingannya; tertinggi 240 dan terendah 100 dollar AS. Indonesia masuk peringkat 12 dari sejumlah negara yang disebutkan itu, namun masih di bawah Filipina, Meksiko, Brazil, bahkan Nigeria. Penghasilan kartunis Indonesia per tahun menurut peringkat itu, rata-rata baru mencapai 1.012 dollar AS. Perbandingannya; tertinggi 2.000 dan terendah 265 dollar AS.
Data penghasilan kartunis Indonesia ini, juga masih kontroversial. Khususnya untuk penghasilan tertinggi. Kemungkinan besar, nama-nama seperti GM Sudarta, Jaya Suprana, Dwi Koendoro, Pramono, dan Prijanto Sunarto, pasti termasuk kartunis yang tidak mengisi angket yang disebarkan WittyWorld itu.
Demikianlah, tulisan ini semata untuk memberi gambaran maraknya peta komoditi kartun di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Logika sederhananya, bila sebuah sindikasi mampu membayar seorang kartunis hingga puluhan milyar rupiah per-tahunnya, betapa gemuruhnya peta omset sindikasi itu. Bukan saja ini berhubungan dengan aspek kualitatif sebuah software, namun juga menggambarkan betapa jagonya sindikasi itu mengolah seluruh sistem manajemennya sehingga mampu menjual produk yang hanya bernama kartun, dengan omset dan keuntungan yang gila-gilaan!

Darminto M SudarmoKOMPAS, Minggu, 22 Mei 1994

 

Copyrights 2019 | IHIK