Setiap kali menerima pesan dari Pak Danny Septriadi, hati saya pasti senang. Pesan beliau selalu berisi soal bacaan terkini, buku yang baru terbit dan menarik untuk dibaca, pendapat beliau soal karya seseorang yang penting untuk dibahas, dan tentu saja humor. Untuk urusan terakhir, baru kali ini saya berjumpa seseorang yang mendekati humor dengan sangat “serius”.

 

Maka, pertemuan saya dengan beliau beberapa tahun lalu juga difasilitasi oleh humor. Saat itu saya menjadi narasumber yang membahas komedi dan perlawanan oleh Zunar, kartunis politik dari Malaysia. Saat itu, ada The Popo juga yang menjadi pembahas dan seingat saya berhasil membuat banyak hadirin tertawa sekaligus gelisah dengan kejenakaannya.

 

Kemarin saya mendapatkan pesan dari Pak Danny. Beliau mengirimkan sebuah tulisan untuk saya berikan umpan balik. Senang sekali apalagi topik yang dibahas soal putusan pengadilan – urusan yang sehari-hari saya geluti, baik ketika menjadi peneliti, dosen, maupun saat ini sebagai juru bicara Komisi Yudisial.

 

Saya sepakat dengan semua tulisan yang disusun oleh Ulwan Fakhri, Peneliti IHIK3, yang membawa kita memahami kenapa untuk putusan-putusan pengadilan yang ganjil, respons kita adalah menertawakannya. Menurutnya, ketertawaan terhadap keganjilan itu muncul karena ada posisi kontras yang terjadi pada satu objek, dalam hal ini hakim yang seharusnya berwibawa dijukstaposisikan dengan realitas yang dianggap terbalik lewat bentuk putusannya.

 

Sudah benar bahwa kewibawaan profesi hakim berada di putusannya. Hal ini sama dengan berbagai profesi lain di mana ukuran kehormatannya berada para perilaku dan keluaran dari pekerjaan profesi tersebut. Oleh karena itu, putusan hakim diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum, maknanya karena putusan itu dipersembahkan kepada publik sebagai pemegang mandat. Hakim bukanlah pejabat publik yang secara periodik dipilih secara langsung, maka legitimasi hakim adalah pada kepercayaan publik.

 

Dengan demikian, putusan hakim merupakan karya yang bebas buat dikritisi maupun diapresiasi. Di sinilah maknanya akuntabilitas putusan hakim – akuntabilitas itu berarti dapat dipertanggungjawabkan dan untuk dapat dipertanggungjawabkan, maka seharusnya dapat diuji (dikritik dan diapresiasi).

 

Salah satu bentuk valid dari publik mengekspresikan kritiknya adalah melalui tawa. Sah 100 persen. Sama sahnya dengan membuat kajian yang terstruktur berdasarkan kajian peraturan, doktrin, yurisprudensi, dan seterusnya. Tawa adalah bentuk di mana publik mengetok ruang akuntabilitas hakim.

 

Untuk itu, putusan hakim seharusnya bisa dijelaskan atau diberikan penjelasan. Agar tercipta pendapat dan kontra pendapat. Sepanjang penjelasannya beralasan, publik tentu akan memahami kenapa suatu putusan hakim bisa demikian dan kenapa tidak demikian. Jadi, tidak tepat juga pendapat bahwa hakim adalah silent corps atau putusan adalah bentuk absolut dari kemandirian hakim. Hakim harus berbicara dan itu melalui putusannya. Putusan hakim dibuat dengan dasar kemandirian, tetapi tidak berarti putusan itu barang sakral yang tidak bisa dinilai.

 

Yang jadi persoalan, kan, ketika putusan hakim tidak dijelaskan atau tidak bisa dijelaskan. Di sini persoalannya timbul. Publik bereaksi, tetapi pengadilan yang seharusnya memberikan penjelasan, memilih sikap diam karena tidak bisa mengomentari putusan hakim lain. Maka, benarlah Marx jika boleh dimodifikasi sedikit di sini: pertama yang muncul adalah tragedi, kemudian menjadi komedi.

 

Miko Ginting – Juru Bicara Komisi Yudisial

 

Leave a Reply