https://comika.media/posts/Indonesia-Darurat-Humor–Pertanyaan-Pelik-yang-Diobrolkan-Dengan-Santai
Bagi masyarakat yang hidup di gelembung, isu kedaruratan humor kerap dianggap sebagai isu saat ini. Namun ternyata tidak. Gelembung bisa dipecahkan selayaknya gelembung sabun Dee-Dee, dan kita bisa langsung belajar kalau ketersinggungan sudah hadir sejak humor ada di Tanah Air. Pesan Warkop DKI pun mengandung makna ini: Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang.
Apakah Indonesia sedang berada di darurat humor tersebut? IHIK3 bersama Humoria.id mencoba menjawab pertanyaan pelik tersebut dengan suasana santai. Ada beberapa generasi pegiat humor, mulai dari Dedi ‘Miing’ Gumelar, maman Suherman, Yasser Fikri, dan Pandji Pragiwaksono.
Pelawak senior dan juga anggota DPR Miing berbagi soal perbedaan humor dulu dan sekarang yang jomplang. Perbedaan utamanya terletak di kemudahan akses media untuk saat ini, di mana persebaran humor jadi cepat.
Punggawa Bagito tersebut juga mengungkap bahwa di zaman dahulu, ketersinggungan memang bukan isu yang santer seperti sekarang karena ada alasannya.
“Kita ngelawak dulu itu langsung berurusan dengan aparatur. Jika ada yang tidak berkenan langsung dipanggil. Setelah itu pulang bebas,” ungkap Miing.
Hal ini membuat hal-hal yang berpotensi menyinggung “diurus” oleh para buzzer dan penggemar sosok yang dijadikan sasaran humor.
Kang Maman pun punya ukuran soal darurat humor. Ia mengungkap bahwa jika humor hanya bisa dinikmati borjuis dan juga orang-orang yang disebut “pintar,” maka kedaruratan itu terjadi. Humor menurutnya harus bisa dinikmati orang luas, bukan hanya yang berprivilese saja.
Pandji pun mengungkap bahwa kuncian soal ketersinggungan yang masif di Indonesia, adalah justru karena perilaku bangsa kita yang komunal. Di mana untuk jadi bagian dari sebuah kelompok, seseorang butuh penerimaan. Sebuah analisis yang mungkin bakal banyak ditumpahkan di #Komoidoumenoi tahun depan.
Acara ditutup dengan notulen dramatis dari Kang Maman. Penulis merasa bahwa notulen ini seperti tulisan Comikamedia namun lebih dramatis dan sedikit membawa pesan keikhlasan dan kebebasan. Pembicaraan ini sesuai petuah peneliti humor alm. Arwah Setiawan bahwa humor itu serius.