Court Jester Zaman Now
By Dr. Maman Lesmana, FIB-UI
Pendahuluan
Istilah court jester,-yang dalam bahasa Indonesianya, secara harfiah, diterjemahkan sebagai “Badut Istana”, mungkin tidak populer di Indonesia, karena bentuk pemerintahan Indonesia bukanlah kerajaan, sehingga tidak ada tempat untuk profesi seperti ini. Entah, pada waktu itu, ketika Indonesia masih belum merdeka dan bentuk pemerintahannya masih berupa kerajaan-kerajaan, belum tergabung menjadi sebuah Negara kesatuan. Perlu ada penelitian khusus tentang hal tersebut, karena yang disebut dalam referensi Barat, profesi seperti ini kebanyakan dikenal pada kebudayaan kuno, seperti Yunani, Romawi, India, Cina, Persia, dan Arab. Apalagi pada saat ini, sudah tidak banyak lagi pemerintahan yang berbentuk kerajaan dan meskipun ada, kondisi kerajaan zaman dahulu dengan yang sekarang sangatlah berbeda. Zaman dahulu, istilah ini sangat membahana di berbagai budaya di belahan dunia. Masing-masing kerajaan mempunyai badut-badut seperti ini dengan ciri khusus yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang terdapat pada kerajaan tersebut.
“Court Jester” dalam Berbagai Kebudayaan
Pada tahun 1858, di London, terbit sebuah buku yang berjudul History of Court Fools, yang dikarang oleh Doran. Buku ini, di antaranya, membicarakan tentang sejarah badut istana di Eropa, seperti Inggris, Perancis, Spanyol, dan Italia. Pada judul di atas memang tidak digunakan kata jester (badut), melainkan kata fools (orang bodoh).Tapi maksudnya adalah sama. Hal ini disebabkan oleh karena tingkah laku para badut yang ditampilkan di istana itu meniru-niru tingkah laku orang-orang bodoh. Seperti dikatakan oleh Ostle bahwabadut istana pada umumnya melucu dengan meniru perilaku orang bodoh, bukan perilaku orang gila, kecuali Buhlul, seorang badut pada masa Harun al-Rasyid (2008:35).
Dalam budaya India, misalnya, ada badut yang kerjanya hanya membuat raja tertawa. Misalnya, Tenali Rama, seorang superstar badut istana, yang bekerja di istana dan dibayar hanya untuk membuat tertawa Raja Krisnadevaraya (Otto, 2001:6). Demikian juga, pada masa Mamluk (1249-1517), para badut di istana khalifah, tugasnya memberi hiburan kepada raja dengan cara berperan sebagai laki-laki, tapi berpenampilan seperti perempuan (Amer, 2013:22).
Dalam kebudayaan Cina, badut istana juga dikenal. Meskipun banyak anekdot yang bercerita tentangnya, tapi sangat sedikit informasi yang menyebutkan tentang latar belakangnya. Di Cina, penunjukan seseorang menjadi badut istana sama seperti di Eropa, yaitu berdasarkan meritokrasi, yakni berdasarkan prestasi atau kemampuannya dalam hal melucu (Otto, 2001:6).
Dalam kebudayaan Arab, di antara yang dikenal sebagai badut adalah Abu ak-Anbas al-Saymari,yang bekerja pada masa pemerintahan al-Mutawakkil. Ia menulis banyak karya dengan berbagai tema, di antaranya adalah yang berhubungan dengan aktivitasnya sebagai badut, sesuai dengan profesinya.
Namun, menurut Ostle, tidak semua badut itu meniru-niru orang bodoh, tapi juga ada badut yang berpendidikan, yang biasanya merangkap jabatannya sebagai seorang penyair (2008:35). Salah satu badut yang juga berprofesi sebagai penyair adalah Abu Dulamah, seorang budak hitam yang hidup pada masa awal Bani Abbasiyah. Ia dianggap sebagai Eddy Murphy-nya orang Arab (Warraq, 2010). Selain Abu Dulamah, Abu Nuwas yang bernama asli Hasan ibn Hani, juga seorang penyair dan sekaligus badut istana pada masa Khalifah Harun al-Rasyid (Glassé , 2003:25).
Zaman sekarang, tampaknya, istilah court jester tidak lagi diterjemahkan secara harfiah, seperti pada zaman dahulu, melainkan dengan arti lain yang mirip dengannya, seperti yang terdapat dalam Dagan. Ia menulis sebuah novel yang ia beri judul Court Jesters(1989), namun yang diceritakan dalam novel itu bukanlah badut dalam istana yang bertugas menghibur raja seperti pada zaman dahulu, tapi kisah tentang empat pria, narapidana di kamp konsentrasi Nazi, yang bertugas menghibur orang yang menahannya. Meskipun tugasnya sama, yaitu memberi hiburan dengan cara melucu, tapi sasaran yang dituju berbeda, bukan kepada raja di istana, tapi kepada para penguasa di sebuah kamp.
Demikian juga Mitchell yang pada tahun 1984 menulis buku berjudul Dario Fo: People’s Court Jester.Jika diterjemahkan secara harfiah, judul buku tersebut adalah Dario Fo, Badut Istana Rakyat. Padahal yang dimaksud adalah bukan demikian. Istilah court jester pada bukunya, artinya bukan badut istana yang terdapat pada definisi pada zaman dahulu, melainkan julukan yang diberikan kepada Dario Fo, pemenang Nobel untuk sastra tahun 1997. Dario Fo dijuluki sebagai jester dalam bidang tradisi lisan pada abad pertengahan di Italia, karena telah membuat satire politik dan intervensi militant terhadap kehidupan politik di Italia.
Dari sini dapat dinterpretasikan bahwa kata court tidak lagi diartikan secara harfiah dengan kata istana, dan kata jester tidak lagi diterjemahkan dengan badut, tapi keduanya telah dijadikan sebagai sebuah idiom yang artinya tidak bisa diterjemahkan satu per satu. Mungkin, yang dimaksud dengan idiom court jester di sini adalah aspirator. Jadi secara keseluruhan artinya adalah Dario Fo, aspirator rakyat, bukan badut istana rakyat, karena akan menimbulkan kerancuan dalam makna. Jika dihubungkan dengan definisi zaman dulu, ternyata ada persamaannya juga. Pada zaman dahulu, court jester juga berfungsi sebagai aspirator rakyat. Court jester berasal dari rakyat dan ketika ia menghibur raja, pada hakikatnya dalam lelucon-leluconnya, ia menyampaikan aspirasinya dan teman-teman senasibnya.
Selain kedua sumber di atas, istilah ini juga digunakan oleh Henighan (2008:229) dalam bukunya, A Report on the Afterlife of Culture. Pada bagian bukunya yang berjudul court jester, ia menjelaskan bahwa komentator budaya populer itu adalah court jester dari kebebasan berkorporasi. Tugasnya adalah menggunakan ironi untuk menjaga para konsumen dari simulakrum tentang budaya yang dikomersilkan dan bodoh. Jika melihat dari definisi di atas, dapat diinterpretasikan bahwa yang dimaksud court jester dalam konteks ini adalah stabilitator dan jika dikaitkan dengan definisi zaman dulu, tampaknya ada persamaan di antara keduanya. Tugas court jester pada zaman dulu juga bertindak sebagai stabilisator, yaitu menstabilisator raja agar tidak jenuh dengan rutinitas kesehariannya dengan cara menghiburnya dengan sesuatu yang lucu.
Dari keterangan di atas, tampaknya istilah court jestersekarang telah berubah. Bukan lagi berarti badut istana seperti pada zaman dahulu, karena sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan dan situasi zaman sekarang. Perubahan itu bisa bermacam-macam, tapi esensinya tetap sama dengan yang dulu.
Kalau kita melihat keadaan yang terjadi di Indonesia, istilah ini memang tidak populer, apalagi pada zaman sekarang. Ada beberapa istilah populer di Indonesia yang menggunakan kata court (istana), yaitu juru bicara istana, seperti dalam judul berita “Jokowi Tunjuk Ali Mochtar Ngabalin Sebagai Juru Bicara Istana” (http://www.indeksberita.com, Sabtu, 7 Juli 2018); dokter istana, seperti dalam judul berita “Jokowi Kirim Dokter Istana Pantau Kondisi Habibie di Munchen” (CNN Indonesia, Minggu, 04/03/2018 15:35 WIB), rumah tangga dan protokol istana, seperti dalam judul berita “Presiden Jokowi Tiba-tiba Sambangi Rumah Kasubag Rumah Tangga dan Protokol Istana Bogor” (http://jabar.tribunnews.com/2017/09/08/). Dari contoh-contoh judul ini dapat disimpulkan bahwa kata court yang digunakan di sini masih dipahami sebagai arti yang denotatif, yaitu istana, bukan konotatif.
Sementara, kata jester (badut), di Indonesia, ada yang diartikan secara denotatif, seperti dalam judul sebuah film Badut-Badut Ibukota yang beredar pada tahun 1993, yang memang benar-benar menceritakan tentang sebuah keluarga miskin yang bekerja sebagai badut di sebuah taman hiburan dan yang diartikan secara konotaif, seperti halnya dalam judul sebuah buku, yaitu “Badut-badut” Beraksi di Panggung Politik : Bunga Rampai Reformasi, yang aslinya dari the University of Michigan, kemudian diterbitkan oleh Matra Bapora, dan digitalisasi pada 30 Januari 2008. Kata badut di sini bukanlah “badut” dalam pengertian seorang penghibur yang memoles wajahnya dengan bedak tebal dan berpakaian aneh, serta fasih memperagakan mimik-mimik lucu, tapi maksudnya adalah orang-orang yang berperilaku seperti badut.
Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan bahwa istilah court jester memang tidak populer dalam dunia humor di Indonesia. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena sistem pemerintahannya yang bukan berbentuk kerajaan, dan tidak adanya budaya dalam sebuah lembaga pemerintahan atau institusi lainnya yang menganggap perlu pentingnya memberikan jabatan struktural kepada para pelawak untuk menghibur para penguasa.
Referensi:
Amer, Sahar, 2013, Crossing Borders: Love Between Women in Medieval French and Arabic Literatures, University of Pennsylvania Press.
Dagan, Avigdor, 1989. Court Jesters, New York: Jewish Publication Society.
Glassé, Cyril dan Huston Smith, (2003), The New Encyclopedia of Islam, Rowman Altamira
Henighan, Stephen, (2008) A Report on the Afterlife of Culture, Kanada: Biblioasis
Mitchell, Tony, (1984) , Dario Fo: People’s Court Jester. London: Bloomsbury
Ostle, Robin (ed), (2008) Sensibilities of the Islamic Mediterranean, London: I.B.Tauris.
Otto, Beatrice K., 2001,Fools Are Everywhere: The Court Jester Around the World, University of Chicago Press
Warraq, Ibn, (2010), Why I Am Not a Muslim, New York: Prometheus Books