Belum lama ini, enam pemuda digelandang oleh Polda Nusa Tenggara Barat (NTB). Setelah diamankan, mereka disuruh untuk meminta maaf kepada masyarakat, membuat surat pernyataan untuk tidak membuat konten meresahkan lagi, dan dikenai wajib lapor. Sebabnya? “Cuma” gara-gara membuat video prank lucu-lucuan dengan berpura-pura menggelepar akibat virus corona.
Para content creator dari Sumbawa itu tampaknya enggan kalah dari YouTuber Kanada dan pria Rusia yang berulah Februari lalu. Di masa penularan COVID-19 sedang tinggi-tingginya, tindakan konyol James Potok di tengah perjalanan udara Toronto-Jamaika – dengan berpura-pura sakit dan mengaku habis bepergian dari Tiongkok – telah mengacaukan perjalanan ratusan penumpang yang sedang sial karena sepesawat dengannya. Sementara itu, karena berakting kejang-kejang di gerbong kereta bawah tanah Moskow, Dzhaborov diciduk pihak keamanan dan kini mungkin sedang kejang betulan karena dibayangi hukuman maksimal lima tahun kurungan.
Pandemi virus COVID-19 sejauh ini sudah memberikan banyak sekali pelajaran prinsipil bagi peradaban kita, dari higienitas sampai tanggung jawab sosial; pemahaman akan kompetensi humor (humor competence) hanyalah salah satunya.
Kompetensi macam apa ini?
Mengutip esai yang ditulis oleh Amy Carell (1997), humor competence berkaitan erat dengan joke competence. Kedua konsep itu sendiri dikembangkan dari konsepsi kompetensi humor dalam berbahasa yang diusulkan oleh linguis Victor Raskin.
Secara sederhana, joke competence dapat dipahami sebagai kemampuan untuk mengenali suatu lelucon, tanpa melakukan justifikasi apakah lelucon tersebut lucu atau tidak. Nah, setelah seseorang memiliki joke competence, barulah humor competence-nya yang berbicara lebih lanjut: seberat apa kadar humor di lelucon tersebut?
Kalau joke competence banyak dipengaruhi oleh familiaritas seseorang terhadap format atau makna yang terkandung dalam suatu lelucon, humor competence jauh lebih kompleks dan dinamis dari itu. Dalam humor competence, penaksiran lucu atau tidaknya suatu lelucon acapkali bergantung pada banyak aspek, dari psikologis sampai fisik. Humor competence pun turut melibatkan aspek konstruksi sosial yang dianut atau sedang berlaku di wilayah dan momen lelucon itu disampaikan, macam etika, simpati, empati, dan lain sebagainya.

Mari sekalian sekilas saya ilustrasikan. Dari foto secarik kertas bertuliskan “Santai jangan takut corona! Ingat, kita alumni kiamat 2012!” yang cukup viral di jejaring sosial Tanah Air di atas, si inisiator seperti ingin mengatakan bahwa pandemi corona bukanlah akhir dari segalanya. Soalnya, ia, saya, dan Anda sama-sama telah melewati tahun 2012 – masa yang diramalkan oleh sejumlah pihak menjadi momen kehancuran planet ini. Jadi, yang joke competence saya tangkap adalah: jangankan virus corona, sebagian besar dari kita saja bisa kok melangkahi “hari kiamat”!
Kalau di tahap humor competence, meme tersebut bagi saya lumayan menghibur karena berhasil mengaitkan dua fenomena sosial penting yang saya ketahui dan turut bernuansa positif untuk turut meredam kepanikan atas situasi ini tanpa mengolok-olok keadaan para pasien corona. Namun, interpretasi saya mungkin berbeda andaikata inisiator atau pengunggah meme tersebut adalah pejabat negara, karena bisa saja memunculkan kesan terlalu santai dan cenderung menyepelekan penyakit yang mengancam hajat banyak orang.
Mungkin, meme itu pun gagal menghibur individu yang positif terinfeksi atau yang kehilangan anggota keluarganya karena virus ini (karena “kiamat” yang mereka rasakan lebih nyata daripada prediksi kiamat 2012), juga bagi Anda yang merasa dunia telah runtuh karena corona berpengaruh buruk terhadap rezeki Anda.
Singkatnya, eksistensi humor competence menjadi jawaban mengapa suatu lawakan, karikatur, hingga konten prank – yang sebenarnya secara format ataupun semantiknya mudah dikenali dan dicerna – bisa saja tidak menghasilkan tawa atau kebahagiaan bagi orang tertentu dan sebaliknya di orang lain.
Alhasil, membuat prank atau lelucon tentang corona COVID-19 di kala virus ini tengah menjadi pandemi bakal sangat menantang. Betapa tidak, faktor kecemasan tertular dari tiap individu sampai ketakutan di level aparat negara (walaupun mulanya pemerintah kita lebih mengkhawatirkan kondisi ekonomi) sedang tinggi-tingginya. Tak heran, ketidakpekaan seseorang terhadap “humor competence komunal” di masa kini bisa “berhadiah” sanksi sosial atau, yang tidak kalah buruknya, hukuman badan.
Prank yang terdegradasi
Bahwasannya benar kalau manusia merupakan makhluk yang suka bermain dan tertawa. Kita Homo Ludens. Buktinya, di media sosial konten-konten komedi memang termasuk yang populer atau mudah trending. Membendung sirkulasi lelucon di tengah keadaan sulit pun bak melawan sifat natural kita. Pasalnya, humor di sisi lain juga bermanfaat untuk menekan kegelisahan, memperlancar proses koping, hingga mengembalikan humanitas kita. Mau sebagaimanapun dipungkiri, kini kita semua juga telah menjadi korban dari pandemi ini.
Namun, jangan lupa kalau manusia juga tempatnya salah. Oleh karena itu, dibutuhkan kehati-hatian yang ekstra untuk mengekspresikan dimensi kejenakaan kita.
Perlu dipahami bahwa menjadi seseorang dengan selera humor (sense of humor) yang tinggi bukan berarti kita adalah orang yang selalu melucukan topik apa pun 24/7. Kata Louis Franzini dalam Just Kidding: Using Humor Effectively (2012), selera humor adalah kapasitas seseorang untuk terhibur dan menghibur orang lain. Kapasitas tersebut dibentuk dari dua komponen utama yang saling berkelindan: apresiasi serta inisiasi. Intinya, seseorang yang bukan apresiator humor ulung akan kesulitan menjadi inisiator humor yang baik. Proses ini, lanjutnya, tidak berlaku sebaliknya.
Sebagai genre komedi yang potensi kegagalannya sangat tinggi dan serius, dibutuhkan selera humor di atas rata-rata untuk membuat atau mengolah konten prank. Sebab, dijelaskan Kembrew McLeod melalui Pranksters: Making Mischief in the Modern World (2014), prank sejatinya adalah kritikan humoristis yang disampaikan di ruang publik dan diamplifikasi oleh media – ya, kemajuan teknologi media memang telah sangat mempermudah kita untuk membuat realita palsu.
Sayang, tak dapat dipungkiri bahwa prank saat ini maknanya telah tereduksi menjadi aksi untuk sebatas membuat orang lain terlihat kikuk. Padahal, seperti trah bentuk-bentuk humor lain, prank sebagai alat sosio-politis berorientasi pada perubahan sosial dan dampak positif bagi masyarakat, seperti mengasah kemampuan berpikir kritis serta membuat publik lebih bijak dalam menyikapi suatu fenomena.
Ambil untuk misal satu dari sekian prank bikinan anggota founding fathers Amerika Serikat, Benjamin Franklin. Tahun 1747, ia secara anonim membuat tulisan hoaks di koran The General Advertiser dengan menyamar sebagai wanita yang sedang diadili karena mempunyai anak di luar nikah, untuk kelima kalinya: Polly Baker. Lewat “rintihan” Baker yang humoristis tersebut, Ben Franklin menyindir ketidakadilan yang membuat jengah publik kala itu: mengapa hanya wanita yang dihukum karena hamil di luar nikah tetapi pria pelakunya dibiarkan begitu saja?
Saking baiknya dalam merepresentasikan keluhan banyak orang, artikel bertajuk The Speech of Miss Polly Baker itu menjadi diskursus tersendiri dan menginspirasi pelbagai kalangan hingga viral ke penjuru negeri, bahkan sampai ke Kerajaan Inggris dan negeri jiran. Kisah ini pun sempat menembus zaman sampai pertengahan abad ke-20, kendati Ben Franklin sendiri sudah mengakui ialah otak di balik tulisan tersebut saat bertugas menjadi duta besar Amerika bagi Prancis selang 30 tahun tulisan itu terbit.
Dengan sangat berat hati, pandemi korona memaksa kita untuk mengakui kalau kita masih perlu banyak belajar lagi, dari mencuci tangan dengan benar sampai bercanda secara lebih sensitif dan/atau berdampak positif, mungkin bukan hanya untuk para prankster tetapi juga kita-kita yang ingin membercandakan situasi ini.
Ulwan Fakhri – Peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3)