Volodymyr Zelensky. Berhasil atau tidaknya nama itu menjadi kepala negara Ukraina nanti, Zelensky tetap akan tercatat dalam sejarah perpolitikan sekaligus komedi dunia. Betapa tidak, habitat pria 41 tahun itu sejatinya adalah jagat hiburan, tepatnya di ranah komedi. Ia dikenal luas berkat perannya di serial televisi komedi-politik sebagai seorang mantan guru yang sekonyong-konyong menjadi presiden.
Januari lalu, Zelensky memutuskan untuk melanjutkan lakonnya di dunia nyata. Ia bertarung di pemilu sungguhan dengan menunggangi partai baru bernama Servant of the People, yang lucunya diambil dari nama program televisi yang ia bintangi dan dibentuk oleh rumah produksi serial tersebut.
Perjalanan Zelensky ternyata makin seru. Sebab pada putaran pertama Pemilu Presiden Ukraina 2019, ia mampu menggaet 30,24% suara. Ia sukses melangkahi 43 calon presiden lain, termasuk dua kandidat yang jauh lebih berpengalaman dan masyhur. Petro Poroshenko (15,95%), sang presiden petahana, dan mantan Perdana Menteri Ukraina dua periode, Yulia Tymoshenko (13,40%), pun dibuat menongkrong di nomor dua dan tiga saja.
“Punchline” ala Zelensky tak berhenti di sana. Bukan pawai politik atau berdebat di televisi yang menjadi strategi kampanyenya. Karena dasarnya ia adalah seorang entertainer, maka Zelensky blusukan lewat pertunjukan komedi dan musik.
Alhasil, ia tak cuma berhasil mendatangkan massa, tetapi juga membuat mereka membayar untuk datang ke acara politis tersebut secara sukarela. Fenomena Zelensky ini boleh dianggap sebagai tamparan keras bagi para aktor politik yang selama ini hanya mampu mengorganisasi massa dengan iming-iming bayaran atau sembako murah.
“Badut” jadi presiden, mustahil?
Belakangan, ada joke yang sedang hangat-hangatnya bersirkulasi di Ukraina. Bunyinya lebih kurang begini: “Selama bertahun-tahun, kita memilih orang-orang yang serius (di Pemilu) dan yang kita dapat cuma lelucon. Kenapa kita tidak memilih komedian sekalian dan lihat apa yang terjadi?”
Lelucon bernada depresif tersebut tak layak diremehkan. Soalnya, di sanalah terkandung satu alasan kuat yang bisa mematikan kemustahilan Volodymyr Zelensky, si komedian itu, untuk menjadi presiden Ukraina, yakni fitrah komedian dan persepsi masyarakat terhadap profesi itu.
Di serial satire Servant of the People, Zelensky memerankan seseorang pendidik yang jujur bernama Vasyl Petrovych Holoborodko. Ia sukses menjadi presiden setelah videonya mengatai kotornya pemerintah Ukraina viral. Idealismenya tak luntur saat menjabat. Holoborodko – bersama sejumlah teman yang diangkut ke dalam kabinetnya – tak gentar melawan pejabat maupun oligarki licik yang mencoba merongrong negeri tercintanya dengan strategi-strategi yang begitu menggelikan.
Tanpa topeng Vasyl Petrovych Holoborodko sekalipun, Zelensky sudah menjadi pahlawan. Sebagai komedian, ia sukses mengangkat realita miris praktik politik dan pemerintahan Ukraina, lantas menghabisinya. Zelensky layak disebut sebagai salah satu badut istana (court jester) terbaik saat ini.
Menurut Dr. Maman Lesmana, akademisi Universitas Indonesia sekaligus pengkaji humor, para badut istana ini sudah ada sedari zaman peradaban kuno, seperti di Yunani, Romawi, India, Cina, dan Arab. Mereka tak cuma berperan sebagai penghibur raja, tetapi juga aspirator rakyat jelata. Mereka pun acap dianggap orang hebat, karena termasuk orang langka dari kelas proletar yang omongannya tentang realita miris di luar kastel bisa didengar oleh sang pemangku kekuasaan.
Dalam ranah politik kontemporer dan panggung demokrasi, mengutip Wagg (1998) dalam Because I Tell a Joke or Two: Comedy, Politics and Social Difference, peran komedian – yang merupakan evolusi dari badut istana – makin vital. Pasalnya, ia mengantongi legitimasi untuk berekspresi sebebas dan sejujur mungkin. Komedian kini dipersilakan menghakimi presiden berikut praktik pemerintahannya dan mendapat apresiasi masyarakat pula. Lewat lelucon-leluconnya, komedian pun bisa lebih dekat dengan rakyat daripada politisi-politisi pengusung populisme.
Dalam kata lain, “badut” bisa lebih populis daripada para politisi.
Maka dari itu, status komedian plus anak bawang dunia politik Zelensky justru menguntungkannya. Gara-gara kritik humoristis yang ia luncurkan, Zelensky jadi terlihat bak pertapa suci yang baru tuntas berkhalwat dan memancarkan harapan cerah untuk masa depan Ukraina. Terlebih di pemilu ini, ia juga hadir tanpa beban berat masa lalu, misalnya pemimpin yang tidak becus memerangi korupsi – bahkan turut terjebak dalam pusaran tersebut – seperti Poroshenko atau cap mantan narapidana yang menempel di Tymoshenko.
Untuk sementara, kesampingkan dulu tudingan oligarki kontroversial yang ada di balik Zelensky serta motif tersembunyi pencalonannya. Apa pun yang bakal terjadi pada putaran kedua Pilpres Ukraina 2019 tanggal 21 April mendatang, Zelensky sudah mencoba menyadarkan kita betapa mendugalkannya politik dewasa ini (sampai ada yang ingin mendelegasikan jabatan kepala negara pada seorang “badut”) sekaligus hebatnya mukjizat humor.
Kalau Zelensky sampai menang, ia akan kian menegaskan bahaya laten komedian menerobos lingkaran eksekutif, setelah kawan-kawan seprofesinya seperti Jimmy Morales memenangkan Pilpres Guetamala 2015 dan Marjan Šarec dilantik sebagai Perdana Menteri Slovenia tahun lalu.
Bagaimana? Sule, Cak Lontong, Raditya Dika, atau komedian aktif nan populer lain yang belum terlanjur menjadi politisi, ada komentar?**
Referensi:
Wagg, S. (1988). Because I Tell a Joke or Two: Comedy, Politics and Social Difference. London & New York: Routledge.
**Artikel ini pernah terbit di GEOTIMES.