“Jokes have been ruined by people who aren’t good at telling jokes. A joke should never end with ‘I’m joking.’ Or ‘Git-R-Done.’” – Mike Birbiglia

Dari dulu, Arwah Setiawan sudah resah dengan kurang dihargainya humor sebagai warga seni-budaya. Sebagaimana diceritakannya (Arwah, 1990), sebenarnya almarhum telah memulai “aksi bela humornya” itu sejak tahun 1977. Orasinya di Taman Ismail Marzuki yang menjadi cikal bakal terbentuknya Lembaga Humor Indonesia (LHI) lebih dari empat dekade lalu – yang kemudian dirumuskan dalam slogan yang mengundang perdebatan ramai, “humor itu serius” – terus diulangi hampir di setiap ia punya kesempatan tanpa bosan-bosannya. Ia menyitir Arthur Koestler yang membagi kreativitas manusia ke dalam tiga wilayah (three domain of creativity): humor, ilmu pengetahuan (discovery) dan seni (arts). Ketiganya sederajat, karena semua dapat diberlakukan pada peristiwa yang sama dan batasannya sering tumpang tindih. Kegiatan kreatif ketiganya berjalan di atas proses yang sama, yaitu mencari analogi tersembunyi. Yang membedakannya adalah iklim emosi yang terlibat, baik yang mendasarinya maupun yang diakibatkannya.

Dalam bahasa yang lain, Arwah mengistilahkan: humor membuat orang tertawa, ilmu pengetahuan mengakibatkan orang menjadi paham, seni membuat orang takjub atau terharu. Emosi yang mendasari humor bersifat agresif, ilmu pengetahuan didekati dengan emosi netral atau berjarak, seni diliputi rasa kagum atau belarasa.

Tidak terlalu sia-sia, “hegemoni” itu kini telah menancap di sebagian masyarakat “educated” kita. Mantan ketua LHI itu pun tetap menjadi mercusuar inspirasi dan visi bagi para pemerhati, peneliti, pencinta humor Tanah Air, juga IHIK3 sendiri. Namun, perjuangan untuk memuliakan humor belumlah selesai.

Tengoklah betapa kebiasaan yang menyandu oknum-oknum yang katanya pencinta atau bahkan pelaku humor yang masih berlindung di balik ujaran “jangan marah, cuma bercanda”, “just kidding, bro/sis”, atau “ini lucu-lucuan saja, kok”. Betapa humor acap dikambinghitamkan untuk hal-hal yang tidak tepat di tengah masyarakat sampai nilai, status, dan daya magis humor itu sendiri makin memudar bahkan terinjak-injak. Yang lebih parah, tak sekali atau dua kali ada oknum yang membuat gurauan di situasi dan lokasi yang kurang pantas sampai menimbulkan huru-hara di sekitarnya, seperti mereka yang mengaku membawa bom di pesawat dan akan meledakkannya.

Sejatinya, terlalu dangkal kalau sekadar mengantonimkan humor dengan keseriusan. Selain karena dua hal tersebut tidaklah sejajar, humor justru wajib dipandang serius. Lockyer dan Pickering (2008) merumuskan tiga alasan mengapa yang namanya humor itu harus diseriusi.

Pertama, karena humor itu berkonteks, sehingga tidak terpisahkan dari hubungan dan interaksi sosial masyarakat. Dengan mengkajinya, berarti bisa mengungkap satu atau lebih sisi realitas di suatu peradaban.

Kedua, karena humor dapat memiliki dampak atau reaksi yang serius dan riil, misalnya dalam penciptaan asumsi terhadap suatu identitas dan gender. Joke yang salah secara moral dan tersebar luas, bisa mewariskan pemahaman yang keliru pula di tengah masyarakat. Pun sebaliknya.

Yang terakhir, humor perlu dikaji secara serius demi membuatnya tetap hidup dalam interaksi suatu masyarakat atau dalam periode tertentu. Dengan kata lain, bisa dibilang motif ketiga ini adalah sebuah upaya penyelamatan esensi dan derajat dari humor itu sendiri. Adanya segelintir insan yang menyeriusi humor seperti Arwah Setiawanlah yang bisa menjaga kesakralan dan kehebatan humor dari orang-orang yang asal memanfaatkan atau malah melunturkan nilainya. Penulis mengusulkan agar kelompok segelintir insan ini disebut “Laskar Bela Humor”.

Sebagaimana laskar-laskar lainnya yang berideologi kuat, Laskar Bela Humor juga punya landasan tersendiri. Berpatokan pada pemikiran Arwah Setiawan, bahwasannya “humor merupakan salah satu unsur ketahanan nasional” (1990, h.45), serdadu ini sedia untuk mempertahankan NKRI dengan terus berperan aktif menyadarkan masyarakat akan pentingnya humor.

Temuan dari Kolonel Sigit Haryadi, Kasubdit Napi Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), hanyalah salah satu sebab laskar ini ada. Dalam pemaparan beberapa ciri pelaku terorisme yang berhasil pihaknya amati, Sigit menjelaskan kalau mereka yang termasuk dalam kategori itu di antaranya berciri pemurung, sulit menghadapi kenyataan hidup, hingga berintelektual rendah. Namun, dalam diskusinya di Kampus Pertamina, Jakarta Selatan, pada 29 Juli 2017 lalu, Sigit mengungkapkan pula kalau ada orang berkarakter tertentu yang susah untuk direkrut menjadi teroris. “[Orang] humoris paling susah didekati,” ujarnya (“Tetap Humoris”, 2017).

Semakin banyak orang humoris, maka negara ini akan semakin kondusif pula. Sayang, rumusan Arwah Setiawan ini tak banyak diketahui orang, termasuk oleh BNPT sendiri yang sampai sekarang masih kelimpungan menyiapkan perabot deradikalisasi terorisme yang ampuh.

Tak hanya memberikan rumusan, di kesempatan yang sama, yakni saat memberikan ceramah tentang “Humor Itu Serius” pada 26 Juli 1977, Arwah juga mengusulkan upaya konservasi humor yang sangat mungkin untuk dilakukan sekarang juga. Pembudidayaan humor secara terkoordinasi ini, jelas Arwah (1977), dapat berbentuk pusat pembinaan humor yang menaungi bidang praktik dan teori. Aplikasi dalam bidang praktik itu antara lain: menerbitkan majalah atau buku humor, membuat bank naskah komedi, atau menyelenggarakan acara kegiatan komunal, seperti festival lawak, pameran karikatur, dan sayembara penulisan dan pembacaan anekdot. Sementara bidang teori dapat menggawangi usaha penelitian dan dokumentasi riset humor, seminar dan diskusi tentang humor, sembari menggiatkan kritik serta diskusi terkait humor.

Tulisan ini hanyalah sebuah bentuk kekaguman penulis akan gagasan dan panduan Arwah Setiawan (1935-1995) yang sejatinya sudah kompleks dan aplikatif. Penulis tak memungkiri kalau masih banyak keterbatasan dalam menyelami dalamnya pemikiran beliau. Namun, penulis yakin, kalau pandangan Arwah yang satu ini diresapi, hasilnya cukup untuk menginisiasi dan memotori pelbagai aspek mobilisasi aksi bela humor jilid terkini, termasuk memperjuangkan kurikulum pendidikan berbasis humor sebagai implementasi ketahanan nasional versi Arwah.

*Catatan: penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada bapak Darminto M. Sudarmo dan bapak Danny Septriadi yang telah menjaga “arwah” dari reproduksi buah pikiran Arwah Setiawan ini. Tanggung jawab atas tulisan ini sepenuhnya berada pada penulis.

Ulwan Fakhri Noviadhista. Penulis adalah peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3).

Referensi:

Lockyer, S. & Pickering, M. (2008). You must be joking: the sociological critique of humour and comic media. Sociology Compass, 2(3), h. 808-820.

Riadi. (2017, 07 Agustus). Tetap Humoris, Agar Sulit Jadi Teroris. Ngopibareng.id. Diakses dari https://www.ngopibareng.id/timeline/tetap-humoris-agar-sulit-jadi-teroris-660808.

Setiawan, A. (1990, Oktober). Humor Itu Serius, Lho! HumOr, 01, 44-45.

Setiawan, A. (1977, 9 Agustus). Humor Itu Serius. Kompas.

Leave a Reply